Iklan

Iklan

,

Iklan

Belajar Dari Kasus Limbah B3, Seorang Praktisi Hukum Menilai Jika Polres Salatiga Telah Bertindak Diskriminatif

Redaksi
Senin, 26 April 2021, 07:02 WIB Last Updated 2021-04-26T00:31:46Z
Dr Marthen H Toelle SH MH, seorang advokat senior di Kota Salatiga.


Laporan: Bang Nur


SALATIGA,harian7.com - Penanganan kasus  limbah B3 di RSUD Salatiga, yang dijual bebas beberapa tahun lalu menuai kritikan dari berbagai pihak, baik dari masyarakat, praktisi hukum dan organisasi kemasyarakatan serta lainya. Pasalnya dalam kasus tersebut, hanya menyeret Muh Achmad Dardiri (47) warga Jalan Bangau No 6 RT 05 RW 09, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, selaku pembeli jerigen bekas dan botol bekas infus dari RSUD Salatiga.


Satu diantaranya yang mengkritisi kasus tersebut yakni Dr Marthen H Toelle SH MH, seorang advokat senior di Kota Salatiga. Kepada wartawan, Minggu (25/4/2021) ia mengungkapkan, terkait kasus penjualan Limbah B3 RSUD Salatiga, sampai sekarang ini hanya menyeret satu orang saja, yakni Muh Achmad Dardiri (47) selaku yang diminta untuk membeli jerigen bekas dan botol bekas infus dari RSUD Salatiga, dan kini ia (Dardiri-red) mendekam  dalam ‘penjara’ di Rutan Salatiga.


"Harusnya, penjual maupun orang yang memerintahkan menjual mengikuti jejak Muh Achmad Dardiri mendekam di penjara,"tandas  Dr Marthen H Toelle SH MH.


Diungkapkanya, belajar dari kasus tersebut, ia menilai jika Polres Salatiga telah bertindak diskriminatif khususnya dalam menangani kasus Limbah B3 RSUD Salatiga itu.Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kajian. 


"Diantaranya dari Teori Hukum Kausalitas, bahwa ajaran kausalitas dipergunakan pada tindak pidana materiil. Tindak pidana yang dikualifisir oleh akibatnya dan tindak pidana omisi yang tidak murni."


"Artinya diluar ketiga jenis tindak pidana tersebut tidak mungkin menggunakan ajaran kausalitas untuk dapat meminta pertanggung jawaban pelaku tindak pidana,”jelasnya.


 Lebih lanjut, Dr Marthen H Toelle SH MH, menambahkan, kemudian, kajian dari Tindak Pidana Omisi yang Tidak Murni dan ini sudah masuk pada area yang lebih dikenal dengan melakukan perbuatan (commission) dan tidak melakuan perbuatan atau membiarkan (ommission). 


"Secara umum omission diartikan sebagai seseorang yang memiliki kewajiban hukum, seharusnya mencegah terjadinya kejahatan atau bahaya bagi orang lain namun tidak melakukannya. Jika dilihat, Muh Achmad Dardiri itu dapat dihukum sebagaimana dengan orang yang menimbulkan kejahatan atau bahaya,"tambahnya dengan gamblang.



Hampir sama dengan konsepsi tersebut, masih kata dia, bahwa bila seseorang tidak berbuat, sedangkan ia mempunyai kewajiban untuk berbuat, maka keadaan yang demikian dianggap sebagai sebab daripada akibat. 


"Sementara itu, tindak pidana omisi yang tidak murni (commissio per omission) berarti menyebabkan timbulnya akibat karena kelalaian. Tindak pidana omisi yang tidak murni hanya memiliki lingkup terbatas, dimana si pembuat memiliki kewajiban,”ujarnya.


 Putusan pengadilan


 Dr Marthen H Toelle SH MH, menjelaskan, dengan membaca putusan Pengadilan Negeri (PN) Salatiga, Nomor 115/Pid.B/LH/2019/PN.Slt  atas terdakwa Muh Achmad Dardiri Bin Harun Rosjid itu, dalam pertimbangannya diantaranya menyatakan dan menimbang bahwa sebagaimana fakta hukum di persidangan diketahui bahwa terjadi penjualan limbah dari Ruang Instalasi Hemodialisa RSUD Kota Salatiga.


Karena terjadinya penumpukan limbah di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) RSUD Salatiga yang disebabkan alat ineserator tidak jalan karena terkendala ijin. Sehingga terjadi penumpukan khususnya Inslatasi Hemodialisa. Sehingga bekas kemasan farmasi berupa bekas botol infus dan bekas jerigen dikumpulkan di ruang istirahat ruang Instalasi Hemodialisa. 



"Untuk mengurangi penumpukan limbah di Instalasi Hemodilisa itu, Aris Budiono selaku  saksi dan juga Koordinator Ruang Instalasi Homodialisa mendapat izin secara lisan dari Slamet Riyanto (Kepala Instalasi Sanitasi RSUD Salatiga) untuk menjual limbah dari ruang Instalasi Hemodialisa kepada terdakwa Muh Achmad Dardiri,"jelas  Dr Marthen H Toelle SH MH.


Kemudian, berdasarkan lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yaitu daftar limbah B3 dari sumber spesifik umum disebutkan bahwa untuk limbah dari jenis industri atau kegiatan rumah sakit dan pelayanan kesehatan, sumber limbah adalah seluruh rumah sakit dan laboratorium klinis facilitas incinerator dan IPALyang mengelola effluent dari kegiatan rumah sakit dan laboratorium klinis. Kodenya adalah kode limbah A337-1 yaiu limbah klinis yang memiliki karakteristik infeksius dengan kategori bahaya 1 dan kode limbah B337-1 uraian limbah yaitu kemasan produk farmasi, dengan kategori bahaya 2 (dua).


Dari kasus tersebut, analisa dan pendapat hukum adalah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang dijadikan pertimbangan hukum. 


"Maka jelas dan terang benderang bahwa RSUD Salatiga yang mempunyai kewajiban dan kewenangan hukum untuk mengelola limbah B3, dengan cara melalui laboratorium klinis facilitas incinerator dan IPAL."



"Adanya fakta hukum dipersidangan diketahui terjadi penjualan limbah dari ruang Instalasi Hemodialisa RSUD Kota Salatiga karena terjadinya penumpukan limbah di Tempat Pembuangan sampah (TPS) RSUD Salatiga yang di sebabkan alat ineserator tidak jalan karena terkendala ijin, alasan ini tidak merupakan alasan hukum bagi RSUD Salatiga sebagai alasan pemaaf dan alasan pembenar untuk membebaskan diri dari tanggungjawab hukum pemidanaan,"tandasnya.


Dr Marthen H Toelle SH MH, mengungkapkan, dari kasus Limbah B3 RSUD Salatiga itu, bahwa penyidik dalam hal ini Polres Salatiga harus menindak lanjuti perkara Limbah B3 dengan menjadikan pihak yang bertanggungjawab dan yang memiliki kewajiban hukum. Seharusnya mencegah terjadinya kejahatan atau bahaya bagi orang lain namun tidak melakukannya. 


"Selain itu, dia dapat dihukum sebagaimana dengan orang yang menimbulkan kejahatan atau bahaya. Dasar penyelidikan dan atau penyidikan oleh Polres Salatiga dengan berpegang pada Tindak Pidana Omisi yang Tidak Murni."


Ditandaskannya, jika Polres Salatiga tidak melanjutkan proses perkara B3 ini, maka Polres Salatiga, telah melakukan tindakan hukum yang tidak obyektif, telah terjadi tindakan diskriminatif dalam hukum, hal sangat menciderai asas kesamaan di dalam hukum (Equality before the Law) dan melanggar prinsip-prinsip Negara Hukum, yang diamanatkan dalam UUD’45.


Diberitakan sebelumnya, kasus penyelidikan Limbah B3 RSUD Salatiga mencuat sejak tahun 2019 lalu. Dan  kasus tersebut ditangani Polres Salatiga. Dalam prosesnya Polres Salatiga telah memanggil sejumlah pihak baik dari RSUD Salatiga maupun yang disuruh membeli limbah B3 itu yakni, Muh Achmad Dardiri.


Adapun dalam kasus tersebut, sejumlah orang yang sempat dimintai keterangan penyidik Polres Salatiga diantaranya Direktur RSUD Kota Salatiga (saat itu) Dokter Pamuji Eko Sudarko, pegawai RSUD Salatiga Tutik dan Damsuki (keduanya yang menghubungi dengan menelpon Mh Achmad Dardiri untuk membeli limbah B3 di RSUD Salatiga).


Selain itu, pencuci botol yang merupakan tetangga Dardiri di Cabean juga dimintai keterangan penyidik Polres Salatiga. Namun, hingga kini hanya Muh Achmad Dardiri yang mendekam di penjara. Terus bagaimana dengan pihak RSUD Salatiga yang justru memerintahkan menjual Limbah B3 tersebut tetap tenang tanpa ada sanksi hukum yang jelas, serta seakan dipeti eskan.


Berita sebelumnya:

Kasus Limbah B3 RSUD Salatiga, MM Semuel Ngefak SH Pertanyakan Mengapa "Orang Dalam" RSUD Salatiga Yang Menjual Bebas Limbah B3 Tidaik Tersentuh Proses Hukum


Buntut Dugaan Kasus Penyalahgunaan Limbah B3, Direktur RSUD Dimintai Keterangan Penyidik Polres Salatiga

Berita video



Iklan