Iklan

Iklan

,

Iklan

DLH Cilacap dan KPLH Pusat Ajak Musyawarah Warga Winong Terkait Pencemaran Yang Diakibatkan Aktifitas Proyek PLTU

Redaksi
Kamis, 04 Oktober 2018, 16:46 WIB Last Updated 2018-10-04T09:47:20Z
Cilacap, Harian7.com - Bupati Cilacap, Tatto Suwarto Pamuji akhirnya merespon keluhan warga Winong, Desa Slarang Cilacap, terkait keringnya sumur-sumur warga dan polusi udara yang diakibatkan kegiatan proyek PLTU.

Sebelumnya Bupati telah membentuk tim investigasi dengan melibatkan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta untuk menganalisa dampak yang timbul akibat kegiatan proyek PLTU terhadap warga Winong. Namun pada perkembangan pertemuan hingga turunnya rekomendasi, justru Dr Dwi dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro (Undip) Semarang yang berperan. Dari tim investigasi menghasilkan 3 rekomendasi.

Bupati Cilacap melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilacap pada Rabu, (03/10/2018) di balai pertemuan grumbul Winong mengumpulkan warga Winong untuk musyawarah setelah muncul hasil analis dari tim investigasi. Musyawarah ini guna mencari solusi terbaik untuk warga Winong.

Musyawarah cukup alot dalam pencapaian kata mufakat. Warga yang tidak seluruhnya hadir dalam bermusyawarah, sehingga belum mencapai kata mufakat.

Saat ditemui usai acara, Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro Dr. Dwi Purwantoro Sasongko, M. SI mengatakan, rekomendasi saya karena terjadi penurunan muka air tanah pada sumur-sumur penduduk, maka pemrakarsa harus menyediakan air bersih pengganti, bisa dalam bentuk menarik dari sumber PDAM, kemudian instalasinya ditanggung oleh pemrakarasa termasuk biaya pemasangan sampai dengan proses pemulihan lingkungan selesai.

"Opsi yang kedua pemrakarsa bisa membuatkan sumur dalam khusus (sporartersis) untuk penduduk, serahkan ke penduduk dikelola penduduk, pemrakarsa menanggung biaya pengeboran, instalasi pipa sampai ke masyarakat," katanya.

Kemudian, menurutnya untuk opsi yang ketiga dari sumber lain seperti yang sekarang dari watertorn silahkan didiskusikan ke masyarakat, pokoknya prinsip pencemar harus bertanggung jawab terhadap pencemaran (polluters must be responsible for pollution).

"Karena penurunan muka air tanah ditimbulkan oleh pemrakarsa, maka pemrakarsa harus bertangungjawab penuh proses pemulihan," jelas Sasongko.

Dia menambahkan, untuk polusi udara seluruh pengelolaannya sebetulnya ada di dalam lingkungan, dan sudah ada rekomendasi untuk pasang terpal, pasang paranet, membuat greenbelt, memperluas jarak atau penyangga, itu semua tergantung kepada pemrakarsa.

"Saya sudah merekomendasikan bahwa DLH harus menjalankan fungsi pengawasan. Kalau tidak diawasi, siapa lagi yang mengawasi di dalam, masyarakat kan tidak bisa masuk kedalam," tegasnya.

Rekomendasi yang kami berikan banyak, kata Sasongko seperti rekomendasi untuk integrasi ijin lingkungan, rekomendasi untuk memperbaiki dokumen, rekomendasi untuk aspek hukum dan lain-lain, tetapi rekomendasi itu hanya untuk mengambil keputusan dalam hal ini pak Bupati melalui dinas lingkungan hidup.

"Saya sampaikan kepada masyarakat rekomendasi khusus untuk meningkatkan hajat hidup masyarakat, sehingga mereka tidak kena dampak lagi," tandasnya.

Target jelas ada, menurutnya terutama target waktu, berapa lama pemulihan itu akan berlangsung, kemudian seberapa besar mereka akan memberi kompensasi penyediaan air itu masih didalam proses, nanti akan difasilitasi oleh DLH Cilacap dengan pemrakarsa dan masyarakat.

"Saya sudah selesai memberikan rekomendasi tapi akan saya kawal perkembangannya," tutup Dwi.

Sementara, Kepala DLH Kabupaten Cilacap, Adjar Mugiono menyatakan tadi musyawarah hasil rekomemsasi tim yang sidah dilakukan oleh pakar dari Undip, pakar lingkungan, pakar hidrologi dan pakar udara.

"Sebelum bermusyawarah disini untuk menentukan rekomendasi terlebih dahulu sudah paparan di depan pak bupati," katanya.

Intinya, menurut Adjar pak bupati menggariskan apa yang terbaik untuk masyarakat agar bisa dilakukan. Saya disini hanya menyampaikan hasil investigasi berupa rekomendasi.

"Dalam pertemuan tidak mau menang-menangan. Rekomendasi ini merupakan hasil investigasi di lapangan, hasilnya yang penting masyarakat butuh air diganti air, butuh udara yang bersih bagaimana nanti mekanismenya," tandasnya.

Dia menambahkan musyawarah hari ini belum selesai, karena masyarakat ditawari ada dua opsi air tanah atau PDAM, mereka mau rembugan dulu, tapi intinya kalau kami yang terbaik, karena pak bupati tadi juga pesan, masyarakat mau apa, silahkan. Kalau saya pribadi ya PDAM, tinggal nyambung.

"Pak bupati akan menugasi PLTU untuk membiayai PDAM terkait instalasi pemasangan kerumah-rumah warga, karena apapun adalah bentuk tanggungjawab sosial dari PLTU," tandasnya.

Dia menambahkan, hari ini belum ada kesepakatan, karena mereka mau berembug dulu dengan masyarakat. Terkait berapa lama, saya tidak memberi waktu, semakin cepat semakin baik, biar tidak ada kekeringan yang terus-terusan.

Untuk mengatasi kekeringan, jelasnya sebenarnya sudah ada 11 Torn bantuan dari PLTU. Jadi sebelum sambungan instalasi PDAM ada kita menggunakan Torn. Namun, ada beberapa warga yang tidak puas, katanya airnya keruh. Tapi saya yakin kalau PDAM maupun torn tidak keruh.

"Kalau polusi udara cukup bagus rekomendasinya yakni dengan membuat terpal, akhirnya semua debu akan masuk terpal, dan tadi dijelaskan debu berasal dari debu atas (fly ash) dan debu bawah (bottom ash)," ungkapnya.

Lebih lanjut Adjar menjelaskan, sambil menunggu pohon tidak mungkin 10 tahun. Yang jelas saya membela masyarakat, paranet juga tidak sehari dua hari, kemudian Dom (rumah-rumahan) juga lama, pakai terpal dulu. Sama dengan air, sebelum jadi pakai Torn.

"Tadi memang ada yang tanya kenapa pemerintah tidak menegur? teguran itu selama mereka tidak melaksanakan, tapi ini kan kesepakatan. Kalau bupati sudah tanda tangan PLTU laksanakan saya harus melaksanakan, tidak perlu teguran," tegas Adjar.

Terkait dengan kolam abu yang pernah diaudensikan dengan bupati, Adjar kurang memahami, namun dalam waktu dekat atau kurang dari seminggu debunya harus sudah kosong.

"Permasalahannya debu dari sisa batubara biasanya dijual ke Holcim, tapi tidak tahu kenapa sekarang sudah tidak diambil Holcim lagi, mungkin kualitasnya kurang baik, itu yang menjadikan menumpuk," jelasnya.

Riyanto, salah satu tokoh masyarakat Winong yang juga Koordinator FMPLW mengaku belum puas dengan hasil pertemuan tersebut, pasalnya warga tidak mau jika pemasangan istalasi PDAM yang diambil oleh pihak PLTU.

“Kami maunya gratis,” tandasnya.

Sebab lain adalah opsi air PDAM itu bukan kemauan PLTU karena warga dari awal sudah meminta adanya air bersih. Sehingga warga hanya menikmati air dari toren, yang kini berjumlah 11.

Terkait debu, warga minta kolam debu (ash bourne) dipindah ke tempat yang jauh dari permukiman. (Rusmono)

Iklan