Iklan

Iklan

,

Iklan

Direktur LBH Muhammadiyah Cilacap: KPK Tak Perlu Minta Maaf Kabasarnas Tetap Jadi Tersangka

Minggu, 30 Juli 2023, 19:08 WIB Last Updated 2023-07-31T04:36:31Z

Pewarta : Rusmono|Kaperwil Jateng


CILACAP, Harian7.com
- Seharusnya KPK tidak perlu meminta maaf atas kasus korupsi yang melibatkan Basarnas RI.


Hal tersebut disampaikan pengacara muda asal Cilacap yang kini menjabat sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Cilacap, Kamto,S.H, M.H.


“ Apabila kita cermati Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Basarnas seharusnya KPK tidak perlu minta maaf,  karena secara ketentuan sudah sesuai prosedur. Apalagi ini adalah operasi tangkap tangan yang pasti telah melalui proses penyelidikan yang cukup mendalam sebelumnya, jika alat bukti permulaanya telah cukup, maka jangan ragu-ragu untuk menetapkan tersangka," katanya, Minggu, (30/07/2023).


Diketahui, OTT yang dilakukan KPK atas dugaan suap pengandaan barang dan jasa di Basarnas menimbulkan polemik terkait penetapan Kabasarnas, Marsdya TNI Henri Alfiandi menjadi salah satu tersangka, karena dirinya masih aktif sebagai perwira tinggi militer bintang tiga. 


KPK menangkap 10 orang dalam kegiatan tersebut. Salah satu pihak yang ditangkap diketahui merupakan Koordinator Staf Ahli Kabasarna Letkol Afri Budi Cahyanto. Hasil gelar perkara menyimpulkan Letkol Afri Budi Cahyanto dan Marsdya TNI Henri menjadi tersangka.


KPK kemudian minta maaf atas kesalahan/kekeliruan penyelidik/penyidik KPK terhadap penetapan tersangka perwira tinggi militer, dan penahanan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah Mabes TNI protes atas tindakan yang dilakukan KPK. 


"Ini kan lucu, mestinya jika tersangka keberatan dengan penetapan status tersangkanya bisa menempuh upaya hukum praperadilan, bukan protes dan kemudian disambut permitaan maaf oleh penyidik. Keputusan hukum mestinya hanya bisa ditinjau ulang dan dianulir melalui proses hukum," tegas Kamto.


Ia mengatakan, bahwa polemik OTT KPK dalam perkara Basarnas harus dipahami bahwa subjek hukum UU Pemberantasan Korupsi tidak hanya terbatas pada pegawai negeri saja, melainkan juga terhadap pejabat tinggi setingkat Menteri tidak ada perbedaan perlakuan hukum. Apabila ada oknum anggota militer melakukan tindak pidana korupsi, UU Peradilan Militer tidak berlaku absolut bagi seorang anggota militer yang melakukan kejahatan extraordinary crime  dalam hal ini tindak pidana korupsi. 



“Saya berpendapat UU Peradilan Militer sebenarnya hanya berlaku untuk anggota militer yang melakukan tindak pidana umum dan tindak pidana militer,” imbuh Pengacara Muda yang sering melakukan pembelaan pada kasus pidana berat, perlawan Riba dan perdata Syariah.


Kamto menandaskan, bahwa polemik semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi lagi, apabila masing-masing pihak tidak mengedepankan ego sektoral. Jangan karena 'nila setitik rusak susu sebelanga'. Kita tahu anggota TNI yang berdedikasi tinggi untuk bangsa dan negara ini lebih banyak daripada oknum yang nakal. Jadi apabila ada oknum anggota yang nakal lepaskan saja, supaya diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.


“Saya berharap semua pihak  bisa melihat kejahatan korupsi sebagai masalah dan musuh bersama, untuk kepentingan dan kemajuan bangsa Indonesia ke depan,” pungkas Kamto. (*) 

Iklan