Iklan

Iklan

,

Iklan

Pelanggaran Lembaga Finance Marak Di Salatiga dan Kabupaten Semarang

Redaksi
Rabu, 30 Desember 2015, 17:50 WIB Last Updated 2015-12-30T11:36:09Z
Winarno Ketua LSM LPKPP Kabupaten Semarang
Ungaran - Harian7.com, Pelanggaran yang dilakukan lembaga-lembaga pembiayaan (finance) di Salatiga dan Kabupaten Semarang, terbilang cukup marak. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pengaduan para konsumen yang sering dirugikan dan mendapatkan perlakuan kasar dari pihak lembaga finance.
"Dalam tahun ini, banyak pengaduan konsumen terkait finance hingga mencapai 40 %  aduan. Mereka rata rata mengadu ke kantor kami karena telah dizalimi serta dirugikan oleh pihak finance serta mendapat perlakuan kasar oleh penagih hutang,(debt collektor)," kata Ketua LSM LPKPP Kabupaten Semarang,  Winarno, Rabu (30/12).
Terhadap tingginya keluhan konsumen, kiranya pemerintah terkait diminta untuk memberikan perhatian khusus. "Kita tidak mau pelanggaran-pelanggaran seperti ini terus terjadi. Kita ingin masyarakat sadar, dan tidak boleh ada pembiaran, pemerintah pun harus mengambil tindakan. Kami selaku Lembaga Swadaya Masyarakat tentunya tidak akan tinggal diam," ujar Winarno.

Menurut dia, dari pengaduan yang diterima pihaknya, diketahui bahwa saat ini banyak lembaga finance di wilayah Kabupaten Semarang dan Salatiga yang menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance). Lembaga pembiayaan ini dikategorikan dalam lembaga pembiayaan non-bank, yang prosedur pelaksanaannya telah diatur oleh pemerintah dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.

"Namun fakta di lapangan dalam pelaksanaannya, lembaga pembiayaan melakukan penyimpangan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum. Jika finance melanggar aturan, maka salah satu yang dirugikan adalah negara karena tidak mendapat pemasukan dari pajak," ucapnya.

Dikatakan, beberapa penyimpangan yang dilakukan lembaga finance, di antaranya adalah melakukan kontrak perjanjian dengan konsumen tidak di hadapan notaris. Akibatnya, kontrak tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai perjanjian "di bawah tangan" karena tidak ada akta notaris sebagai kekuatan hukum yang diakui undang-undang.

Padahal dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya syarat objektif. Salah satu unsur dari syarat objektif tersebut adalah perjanjian yang dibuat harus mempunyai kekuatan hukum.

Jika syarat objektif tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Artinya, perjanjian itu dianggap tidak ada dan tidak ada hak untuk pihak manapun melakukan penuntutan pemenuhan perjanjian tersebut di mata hukum.

"Maka dapat disimpulkan bahwa dalam praktiknya, leasing telah dengan sengaja melanggar Pasal 1320 KUH Perdata," tegasnya.

Anehnya lagi, lanjut Winarno, dalam perjanjian kontrak antara finance dengan konsumen, disebutkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan penyerahan hak milik secara fidusia. Tetapi, perjanjian fidusia tersebut tidak didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia untuk mendapatkan sertifikat fidusia.

Ini menarik, mengingat dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan PP Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata cara Pendaftaran Fidusia dan Biaya Pendaftaran Fidusia, disebutkan salah satu syarat pendaftaran fidusia adalah adanya salinan akta notaris.

"Artinya, jika perjanjian acara finance dengan konsumen dibuat di bawah tangan, maka tidak ada akta notaris. Jika tidak ada akta notaris, maka tidak bisa dibuatkan sertifikat fidusia," papar Winarno

Atas dasar itu, ia menyimpulkan bahwa leasing telah dengan sengaja melanggar UU Nomor 42 Tahun 1999 Jo PP Nomor 86 Tahun 2000. Apalagi dalam perjanjian antara pihak finance dengan konsumen, sering dicantumkan "Klausula Baku".

"Klausula baku adalah aturan yang telah dibuat atau disiapkan terlebih dahulu secara sepihak, dan di dalam klausula baku tersebut dinyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada finance untuk melakukan segala tindakan terkait objek jaminan fidusia," jelasnya.

Selanjutnya dengan dalih berdasarkan kuasa dari konsumen dalam klausula baku yang dicantumkan dalam perjanjian di bawah tangan sebelumnya, pihak finance membuat akta notaris dan sertifikat fidusia secara sepihak. Akibatnya, konsumen tidak memegang salinan akta notaris dan sertifikat fidusia tersebut karena konsumen tidak turut serta menghadap notaris, melainkan dikuasakan kepada pihak finance.

Masih banyak modus lainnya yang dilakukan pihak finance, yang pada intinya melanggar aturan sesuai aduan konsumen. Penyimpangan dan perbuatan melawan hukum tersebut, menimbulkan akibat hukum yang kompleks dan beresiko tinggi.

"Perbuatan melawan hukum, dan tindakan sepihak, serta arogansi debt collector yang terus terjadi menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Ini tidak boleh dibiarkan," tandas Winarno. (Heri Mulyono)

Editor : Harvi Chandra

Iklan