UNGARAN - Harian7.com, Pusat Industri Kecil dan Kerajinan (PIKK) Jateng yang berada di
Lopait, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang sejak beberapa tahun ini
kondisinya semakin memprihatinkan. Bahkan, telah lama pula dijauhi pengunjung
maupun pedagang. Sebagian besar kios mulai tutup dan ditinggalkan oleh penyewa
atau pedagangnya. Hingga kini hanya tersisa lima pedagang yang masih betah
bertahan di PIKK itu. Sejumlah kios yang masih membuka usahanya di komplek PIKK
diantaranya pedagang pigura, batik, galery lukisan, biro travel maupun
salon.
Pantauan harian7.com di PIKK Lopait,
bahwa para pedagang masih membuka usahanya ini sebenarnya juga mengeluhkan
sepinya PIKK. Bahkan, sepertinya dinas terkait yang mengurusi PIKK ini tidak
tanggap akan kondisi nyata sekarang ini. Sejak diresmikan penggunaannya
beberapa tahun lalu, PIKK ini ramai dan dikunjungi pengunjung hanya sekitar
setahun saja. Setelah itu, mulai sepi pengunjung hingga sekarang ini semakin
memprihatinkan.
Salah seorang pedagang,
Bowo (55) warga Salatiga mengatakan, bahwa semenjak PIKK sepi, rata-rata
pedagang enggan untuk membayar sewa tiap bulannya. Meski sewa tiap bulan hanya
Rp 135.000, namun jika kondisinya sepi terus dan tidak ada pemasukan, untuk
bayar sewa uang darimana. Sebelum hanya tinggal lima pedagang, masih ada 15
pedagang. Namun, kini hanya tinggal 5 pedagang dan yang 10 pedagang sudah pergi
karena jelas merugi besar.
“Terus terang, jika
pedagang terlambayar sewa saja langsung mendapat teguran maupun doiberikan
surat tagihan. Dari sini, baru pedagang membayarnya. Jika memang, PIKK
kondisinya ramai, maka para pedagang tidak susah untuk membayar sewanya.
Kondisi sepi ini sudah sejak beberapa tahun lalu,” kata Bowo ketika ditemui
Rakyat Jateng, Senin (26/1).
Bowo menambahkan,
harusnya Dinas Perindustrian Provinsi Jateng secepatnya menyikapinya, agar
bagaimana kembali meramaikan PIKK Lopait Tuntang ini. Meski gedung dipermak
terus, namun tidak ada pedagang yang mau, sama saja dengan sia-sia. Selain itu,
harusnya di PIKK ini ada produk yang ditonjolkan, sehingga para pengunjung akan
mudah tertarik sehingga berkunjung ke PIKK.
Disamping itu, ada hal
yang kurang mendukung pada gedung PIKK, diantaranya gedung pertemuan. Adanya
gedung pertemuan bercampur dengan kios pedagang, ini sangat bertolak belakang
dengan misi pendirian PIKK itu sendiri. Jika menengok ke belakang, bahwa PIKK
ini merupakan “pasar kerajinan”, harusnya ada yang ditonjolkan.
“Yang jelas, jika PIKK
ini akan 'dihidupkan' kembali, harusnya Dinas Perindustrian Jateng segera merubah
tatanan atau rencananya. Paling tidak bagaiman PIKK ramai itu dulu, jika perlu
pedagang dihadirkan sehingga orang atau pengunjung akan datang dengan
sendirinya. Bisa saja, tiap seminggu sekali digelar kegiatan yang mendatangkan
massa, maka akan ramai dengan sendirinya. Tidak seperti sekarang ini, sepi dan
sepi,” terang Bowo lebih lanjut.
Hal senada diungkapkan
Maryadi (52) salah seorang warga Lopait Tuntang. Bahwa, harusnya setelah
bertahun-tahun kondisinya sepi, pihak terkait yaitu Pemprov Jateng melalui
Dinas Perindustrian segera turun tangan. Namun, hal itu nampaknya tidak
dilakukan karena sampai sekarang bukannya sepi tetapi semakin memprihatinkan.
Padahal lokasinya sangat strategis di jalan raya antara Bawen – Salatiga.
“Kalau menurut saya,
lebih baik pengelolaan PIKK ini dipihak-ketigakan. Sehingga, Dinas
Perindustrian hanya menerima matangnya saja, sia-sia gedung yang dibangun
dengan dana miliaran rupiah akhirnya tidak mendatangkan pemasukan yang optimal.
Atau dirubah bukan lagi Pasar Kerajinan tetapi dibuat umum. Mungkin saja, akan
menjadi ramai,” ujar Maryadi. (SAN)
Editor : M.Nur
Laporan : Heru Santoso