SALATIGA
- Harian7.com, Pemkot Salatiga melalui Bagian Hukum Setda Kota Salatiga menggelar
public hearing atau dengar pendapat terhadap Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Selasa (28/10)
kemarin. Dalam acara ini tidak kurang 150 orang/peserta mengikuti
acara yang digelar di Ruang Sidang II Pemkot Salatiga.
Dalam
raperda tersebut, salah satunya berisi tentang pemberian sanksi
berupa denda sebesar Rp 100.000 kepada siapa saja yang merokok di
kawasan tanpa rokok. Denda ini wajib dibayar kepada siapapun yang
melanggar larangan tersebut.
Public
hearing itu menampilkan pembicara dari Dewan Riset Daerah (DRD)
Provinsi Jateng dan Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Salatiga Dokter
Sovie Harjanti. Awalnya, banyak keraguan akan tema ini, namun
ternyata justru masyarakat menyetujuinya. Selain itu, muncul
pertanyaan mengapa dendanya hanya sebesar Rp 100.000 atau bahkan
dapat dinaikkan lagi.
"Denda
Rp 100.000 itu awalnya kami nilai sudah besar, pasalnya orang merokok
yang harganya per batang seribu rupiah itu saja mungkin belum habis
harus didenda seratus persen. Ternyata, dalam acara itu audiense
justru menyetujuinya dan ada yang usul untuk denda dapat dinaikkan.
Tetapi, untuk denda sebesar ini akan diuji cobakan terlebih dulu,
apakah benar masyarakat secara keseluruhan menerima larangan ini,”
terang Dokter Sovie.
Ditambahkan,
khususnya untuk ibu hamil dan anak-anak yang ketahuan merokok maka
mereka akan dicabut BPJS Kesehatannya. Mereka yang mendapatkan
fasilitas BPJS gratis dari Pemkot Salatiga, akan dikenakan sanksi
tegas. Sedang, untuk penerima BPJS dari pemerintah pusat yang dulu
dikenal dengan Jamkesmas, maka pemkot tidak memiliki wewenang
memberikan sangsi.
Beberapa
orang yang dimintai tanggapannya terkait dengan denda bagi orang yang
merokok di tempat larangan dan akan dikenakan denda, mereka mengaku
jika hal itu hanyalah aturan sesaat saja. Pasalnya, kalau memang
dilarang merokok di tempat umum atau suatu tempat yang dilarang namun
itu tempat terbuka, sama saja hanya aturan yang dibuat-buat. Selain
itu, jika Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ini benar-benar dibuat
dan disetujui, Pemkot Salatiga harus menengok ke belakang.
Artinya
seperti contoh yang ada sekarang ini, di komplek ruang sidang II
Pemkot Salatiga ada ruangan khusus untuk merokok, namun kenyataannya
justru banyak acara digelar di dalam ruang sidang tersebut,
pesertanya juga merokok dan diiamkan. Ruangan 'smoking area' tersebut
apakah tidak membuang-buang anggaran saja, nyatanya penggunaannya
tidak maksimal dan tidak optimal.
“Harusnya
raperda tersebut, jangan terlalu dipaksakan, jika memang harus segera
dibuat, alasan Pemkot Salatiga harus benar-benar jelas. Jangan hanya
asal buat Raperda tetapi realisasinya di lapangan, asal-asalan.
Apalagi, banyak pejabatnya juga perokok. Ini harus dikaji lebih
dalam. Atau jika memang tidak senang melihat orang merokok, jangan
latah harus dibuat perdanya. Sebagai contoh nyata, Pak Walikota
Salatiga saja perokok berat dan setiap kali ada acara resmi juga
merokok, ini menjadi pertimbangan kami sesama peroko,” tandas
beberapa PNS Pemkot Salatiga yang enggan disebutkan namanya menyikapi
akan dibuatnya Raperda KTR, kemarin. (SAN)
Editor : M.Nur
Laporan : Heru Santoso