Iklan

Iklan

,

Iklan

 


Politik Transaksional antara Pemilih dan Peserta Pemilu dan Potensi Korupsi Elektoral yang Mendegradasi Kualitas Demokrasi Perwakilan

Redaksi
Senin, 28 November 2022, 17:32 WIB Last Updated 2022-11-28T10:32:16Z


Penulis: Yakub Adi Krisanto (Dosen Fakultas Hukum UKSW)


ESAI,harian7.com - Demokrasi yang dimaknai sebagai kedaulatan ditangan rakyat, oleh, untuk dan dari rakyat telah menampilkan bentuknya secara procedural dalam pemilihan umum. Pemilihan umum (Pemilu) dalam kerangka berpikir menjalankan kedaulatan rakyat menjadi ajang kandidasi dan kontestasi calon-calon pemimpin untuk mendapatkan dukungan dalam bentuk pilihan-pilihan politik rakyat. Kandidasi baik melalui partai politik (presiden, kepala daerah, DPR/D) maupun personal (DPD) awal pengisian jabatan public sebagai perwakilan rakyat untuk mengurus kepentingan seluruh masyarakat.


Demokrasi yang berkembang di era modern telah bertransformasi menjadi demokrasi procedural. Prosedur yang ditempuh dalam mewujudkan demokrasi menjadi sarana menjamin kualitas kedaulatan rakyat. Dalam menjalankan prosedur sering terjadi distorsi yang mendegradasi atau menciderai demokrasi. 


Prosedur yang dijalankan secara kaku memberikan kepastian, namun belum tentu melahirkan keadilan bagi pihak yang terlibat. Pemilu menjadi salah satu prosedur dalam demokrasi untuk memilih pejabat public diantara masyarakat yang akan tampil menjadi pemimpin.


Sejauhmana kualitas pejabat public bisa dipertanggungjawabkan ketika prosedur pemilihannya melibatkan transaksi diantara pihak yang terlibat dalam pemilihan umum. Transaksi diantara pihak ini yang di Indonesia dikenal dengan istilah politik transaksional. Politik transaksional merupakan istilah orang Indonesia untuk menerangkan semua jenis praktik dan perilaku korupsi dalam pemilu mulai dari korupsi politik, membeli suara (vote buying) hingga kegiatan haram (racketeering) (Ratnia Solihah, 2016: 99).


Mengacu pada definisi politik transaksional maka transaksi dalam pemilu berpotensi menjadi korupsi electoral. Pemilihan pejabat public melalui mekanisme pemilu dalam demokrasi yang lebih focus pada aspek prosedur dapat mengabaikan pencapaian kualitas pejabat yang dipilih.


Kualitas pejabat public ini akan menentukan pencapaian tujuan demokrasi yaitu kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat tidak dapat tercapai optimal ketika pemilu dilakukan melalui prosedur yang dijalankan dengan transaksi untuk meraih dukungan suara.


Politik transaksional sampai dengan Pemilu 2019 masih terjadi dan defisit demokrasi terjadi ketika pejabat public terpilih lebih mengutamakan mencari cara ‘balik modal’ dengan menggunakan anggaran pemerintah. Defisit demokrasi pada saat dan pasca pemilu perlu menjadi pelajaran untuk mematangkan (praktek) demokrasi. 


Paparan ini kemudian diharapkan mampu mengkonstruksikan pelajaran untuk mengurangi politik transaksional dan potensi korupsi electoral.


Politik Transaksional dalam Pemilu


Sebagaimana telah dikemukakan diawal, politik transaksional menjadi frasa yang memberi gambaran mengenai semua jenis praktik dan perilaku korupsi dalam pemilu, mulai dari korupsi politik, membeli suara hingga kegiatan haram.


Politik transaksional yang demikian sama dengan definisi politik uang, yaitu sebagai bentuk mobilisasi elektoral dengan cara memberikan uang, hadiah atau barang kepada pemilih agar dicoblos dalam pemilu (Muhtadi, 2019:57). 


Politik transaksional melibatkan materi untuk ditukarkan dengan dukungan atau pilihan politik. Bahkan Burhanuddin Muhtadi menyatakan, “politik uang telah menjadi bahasa yang mempertemukan interaksi antara politisi dan pemilih, serta menjadi titik sentral dalam kampanye pemilu di Indonesia” (Muhtadi, 2020:5).


Pertemuan interaksi antara politisi dan pemilih dalam hal ini melibatkan sejumlah uang untuk ‘membeli’ (baca: transaksi) untuk ditukar dengan dukungan dan/atau pencoblosan kartu suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). 


Transaksi antara calon pejabat public dengan pemilih melibatkan tukar menukar atau konversi hak memilih menjadi satuan mata uang atau materi lain yang disepakati. Tukar menukar atau konversi hak memilih inilah menjadi awal terbentuknya politik transaksional atau politik uang.


Fahmi Ibrahim dan Abdullah Dahlan mendefinisikan politik uang sebagai praktik dalam setiap tahapan pemilu yang dapat dipengaruhi oleh uang sehingga berakibat diuntungkannya salah satu partai politik atau kandidiat atau tidak diuntungkannya partai politik atau kandidat lain (Zainal Abidin Rahawarin Darma, 2022: 2). 


Pemberian uang yang mengkonversi hak memilih memilih preferensi untuk pihak yang memberi akan menguntungkan dalam perolehan suara. Keuntungan inilah yang secara kolektif menjadi pertarungan jumlah uang untuk menarik dukungan dari pemilih dan akibatnya yang memiliki jumlah uang berpotensi memenangkan perolehan dukungan di bilik suara.


Pada Pemilu 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang di kisaran 19,4% hingga 33,1% (Lati Praja Delmana, dkk., 2020;2). Selanjutnya Lati Praja delmana, dkk. (2020;2) mengutip hasil survey Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) yang menyatakan bahwa terdapat 47,4% masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7% menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi. 


Dari data tersebut maka dapat dikemukakan bahwa politik uang meminjam istilah Jensen dan Justesen (Muhtadi, 2020;5) sudah menjadi endemic dalam pemilu di Indonesia. Parahnya lagi, politik uang dinilai oleh pemilih sebagai ‘kewajaran’ atau hal biasa ketika ‘hajatan’ pemilihan pejabat public baik di level nasional maupun local di tingkat desa.


Burhanuddin Muhtadi membagi politik uang menjadi dua bentuk dengan menggunakan teori distribusi politik (2019;57). Pertama, politik uang yang spesifik menunjuk pada strategi retail jual beli suara (vote buying). Dari segi waktu biasanya dilakukan jelang pemilu atau apa yang kita kenal dengan “serangan fajar.” Kadang dilakukan prabayar sebelum hari-H pemilihan, kadang juga dilakukan paska-bayar setelah dukungan itu diberikan. Kedua, strategi politik uang grosiran, kolektif dan lebih bersifat jangka panjang dengan menyalahgunakan kebijakan programatik seperti bantuan sosial atau hibah maupun dana pork barrel untuk kepentingan elektoral.


Lati Praja Delmana, dkk. (2020;2-3) menyatakan politik transaksional yang terjadi pada tahapan pra pemungutan suara, pemungutan suara dan pasca pemungutan suara diakibatkan karena lemahnya pengawasan dan regulasi hukum. 


Sehingga membuka peluang bagi masyarakat, penyelenggara atau pemilih untuk masuk kedalam lingkaran pelanggaran politik uang. Dalam penelitiannya, Lati Praja mengidentifikasi permasalahan dan celah hukum yang terjadi selama tahapan pemilu yang dapat meningkatkan potensi praktek politik uang, khususnya pada Pemilu 2019.


Bersambung......

Iklan