Iklan

Iklan

,

Iklan

 


Mengkaji PPKM Darurat dari Perspektif UU Kekarantinaan Wilayah & Tanggung Jawab Negara (Bagian 2)

Redaksi
Minggu, 25 Juli 2021, 17:58 WIB Last Updated 2021-07-25T11:01:05Z
Yakub Adi Krisanto SH.,MH.


Penulis: Yakub Adi Krisanto SH.,MH (Advokat/Dosen)



OPINI,harian7.com - UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebenarnya telah mengatur mengatur mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dan istilah PSBB sudah pernah digunakan Pemerintah dalam merespon pandemi akibat penyebaran dan penularan Covid-19. 


Alasan mengapa Pemerintah kemudian menggunakan istilah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarkat (PPKM) Darurat adalah karena menghindari persepsi sosial dari penerapan PSBB yang dinilai belum maksimal mengurangi penyebaran dan penularan Covid-19. Pemerintah berhadapan dengan situasi tren peningkatan jumlah kasus positif secara nasional, khususnya Jawa – Bali yang membutuhkan penanganan khsusus.



PPKM Darurat pada dasarnya sama dengan PSBB yang diatur dalam Pasal 59 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2018. Pasal tersebut mengatur mengenai PSBB paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat dan/atau fasilitas umum. Pembatasan minimal dalam PSBB jelas dilakukan pada PPKM Darurat. 



Bahkan kemudian pembatasan mobilitas diperluas dengan membatas pergerakan masyarakat melalui penyekatan-penyekatan, dan memberlakukan persyaratan apabila warga hendak melintas pos-pos penyekatan. Pemberlakuan Surat Tanda Registrasi Pekerja (STRP), sertifikat vaksin minimal vaksin pertama merupakan persyaratan yang diberlakukan untuk membatasi mobilisasi warga negara. PPKM Darurat menjadi PSBB dengan istilah baru yang berbeda dengan menambahkan kata ‘darurat’ sebagai penunjuk adanya kegentingan yang memaksa untuk melakukan langkah-langkah tertentu.


PSBB dan karantina wilayah merupakan bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain karantina wilayah dan PSBB, terdapat dua bentuk kekarantinaan kesehatan yaitu karantina rumah dan karantina rumah sakit. Keempat bentuk (penyelenggaraan) kekarantinaan kesehatan merupakan tindakan mitigasi faktor resiko di wilayah pada situasi kedaruratan kesehatan masyarakat.


Pada saat pelaksanaan PPKM Darurat, muncul penolakan dengan mengajukan argumentasi bahwa negara harus melaksanakan tanggung jawab sebagaiman diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal tersebut mengatur selama kekarantinaan wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Bahkan masyarakat menyerukan bersedia patuh ketika Pemerintah melaksanakan PPKM Darurat, atau PPKM Darurat diperpanjang apabila kebutuhan hidup masyarakat dipenuhi berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018.



Perlu diketahui dan dijelaskan bahwa tanggung jawab pemerintah (pusat) memenuhi kebutuhan dasar orang dapat dituntut ketika Pemerintah Pusat menerapkan karantina wilayah. Pasal 55 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018 yang mengatur tanggung Pemerintah Pusat berada pada ketentuan mengenai karantina wilayah, bukan pada pengaturan tentang PSBB. Dalam bagian yang mengatur tentang PSBB yaitu Pasal 59-60 UU No.6 Tahun 2018 tidak mengatur mengenai tanggung jawab Pemerintah Pusat untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Dengan demikian maka apabila masyarakat menuntut dipenuhinya kebutuhan hidup dasar, Pemerintah dapat menolak dan mematahkan dengan argumentasi bahwa Pemerintah tidak sedang menerapkan karantina wilayah, melainkan PPKM Darurat.


Inilah salah satu alasan yang dapat dikemukakan mengapa pemerintah menggunakan istilah PPKM Darurat, bukan PSBB atau Karantina Wilayah yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018. Yaitu menghindari tanggung jawab yang ditentukan dalam UU No. 6 Tahun 2018, meskipun yang dilakukan dalam PPKM Darurat memenuhi prinsip karantina wilayah. Salah satu prinsip karantina wilayah adalah wilayah karantina dijaga terus menerus oleh pejabat karantina kesehatan dan polisi di luar wilayah karantina. Prinsip lain yaitu selama masa karantina wilayah ternyata salah satu atau beberapa anggota di wilayah tersebut ada yang menderita penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi maka dilakukan tindakan isolasi dan segera dirujuk ke Rumah Sakit.


Apakah dengan tidak digunakannya istilah karantina wilayah dapat serta merta melepaskan tanggung jawab negara di PPKM Darurat ini? Pemberian bantuan sosial baik dari pemerintah melalui kementerian terkait ataupun instansi seperti TNI atau Polri menjadi bentuk tanggung jawab negara. Namun demikian perlu dievaluasi apakah bantuan-bantuan tersebut dapat mencukupi kebutuhan hidup dasar masyarakat selama pelaksanaan PPKM Darurat? Apakah bantuan-bantuan tersebut juga tepat sasaran, khususnya bagi mereka yang benar-benar tidak bisa lagi mengais rejeki karena adanya aneka pembatasan, dan tidak mampu memenuhi persyarakatan untuk bisa melewati pembatasan?


PPKM Darurat pada hakekatnya adalah pembatasan. Dan hakekat manusia tidak ingin kebebasannya dibatasi oleh apapun. Kebebasan bergerak, kebebasan berusaha/bekerja, kebebasan berpendapat, dan kebebasan tersebut jelas diatur dalam konstitusi. Pasal 28 H UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan untuk menjamin seluruh rakyat Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak (Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional). Jaminan sosial tidak selalu sama dengan sistem jaminan sosial. Bahwa jaminan sosial hak asasi manusia, sedangkan sistem jaminan sosial merupakan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial.



Pemerintah bisa melaksanakan jaminan sosial pada saat PPKM Darurat dengan skema sistem jaminan sosial. Dalam hal ini penyaluran bantuan sosial dilakukan oleh BPJS baik kesehatan maupun ketenagakerjaan, bukan langsung ke bank-bank pemerintah. Memang penyaluran bantuan sosial melalui BPJS akhirnya juga diambil di bank-bank pemerintah. Namun dalam hal ini berkaitan dengan sinkronisasi data warga negara yang sudah mendapatkan jaminan sosial dalam skema sistem jaminan sosial. Dalih bahwa data penerima bantuan sosial berasal dari tingkat bawah yaitu RT/RW atau Kelurahan yang dikumpulkan oleh kementerian sosial. Pertanyaannya apakah hanya mereka yang sudah terdata oleh RT/RW yang dikumpulkan kementerian sosial yang terkena dampak PPKM Darurat? Bagaimana dengan pekerja baik formal maupun informal yang terkena dampak PPKM Darurat? Atau pertanyaan klasik yang sering muncul saat ada penyaluran bantuan, apakah penerima bantuan terdaftar benar-benar warga yang membutuhkan bantuan atau hanya karena faktor kedekatan dengan RT/RT atau Kelurahan yang terdata dan mendapatkan (aneka) bantuan sosial?


Sinkronisasi data di Republik ini menjadi tantangan yang belum terselesaikan. Padahal ditengah pandemi Covid-19 melahirkan dampak di hampir semua lapisan masyarakat. Dan bantuan sosial sebagai bentuk tanggung jawab negaara dari pelaksanaan hak warga yaitu jaminan sosial belum tentu menjangkau yang tidak terdata dalam bank data kementerian sosial.


 Sehingga apabila hendak berencana memperpanjang pelaksanaan PPKM Darurat maka perlu dipikirkan strategi untuk menjangkau pemberian bantuan sosial. Karena tidak cukup dengan menyerahkan bantuan-bantuan sosial yang berbentuk sembako oleh lembaga-lembaga pemerintah. Dimana warga penerima bantuan masih memikirkan bagaimana mendapatkan lauk pauk atau sayur mayur untuk ‘mendampingi’ beras bantuan yang diperoleh. Bagaimana dengan bantuan dalam bentuk sayur-mayur, bumbu masak yang bisa diolah oleh keluarga-keluarga yang terdampak PPKM Darurat? 


Pemerintah baik pusat maupun daerah harus berpikir komprehensif dalam melihat penanganan pandemi ini, jangan hanya mengacu pada mobilisasi index dan bantuan-bantuan yang disalurkan secara sporadis. Kebutuhan hidup tidak hanya apa yang dibutuhkan seperti apa yang akan dimakan, namun kekuatiran tentang pekerjaan, kesempatan memperoleh penghasilan juga harus dipikirkan oleh pemerintah. Warga akan memilih menantang maut berhadapan dengan pandemi ketika ancaman keberlangsungan hidup (diri dan keluarga) datang. Ancaman itu adalah kekuatiran tentang kehilangan pekerjaan, pendapatan yang selama ini menjadi mata pencaharian.


 Jadi tidak hanya sekedar pemerintah memberikan bantuan, terus seolah masyarakat dapat memahami pembatasan-pembatasan yang dilakukan. Bagaimana makan dengan nasi yang berasal dari beras bantuan tetap tersedia lauk pauk dan bumbu masak untuk memasak lauk pauk, adalah tantangan jaminan sosial minimal yang harus dipikirkan pemerintah. Selain mengelola kekuatiran individual berkaitan dengan kemungkinan kehilangan pekerjaan dan pendapatan karena pembatasan yang dilakukan dalam pelaksanaan PPKM Darurat.


Berita sebelumnya:

Mengkaji PPKM Darurat dari Perspektif UU Kekarantinaan Wilayah dan Tanggung Jawab Negara


Iklan