Iklan

Iklan

,

Iklan

Mengkaji PPKM Darurat dari Perspektif UU Kekarantinaan Wilayah dan Tanggung Jawab Negara

Redaksi
Jumat, 16 Juli 2021, 05:21 WIB Last Updated 2021-07-15T22:21:44Z


Penulis: Yakub Adi Krisanto SH MH (Advokat/Dosen)


Editor: Bang Nur



OPINI,harian7.com - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat resmi berlaku mulai tanggal 3-20 Juli 2021 di wilayah Jawa dan Bali berdasarkan Instruksi Mendagri No. 15 Tahun 2021. 


Pada intinya membatasi kegiatan masyarakat seperti kegiatan belajar wajib daring (dalam jaringan), pasar tradisional dan modern buka sampai dengan pukul 20.00 dengan kapasitas pengunjung dibatasi maksimal 50 persen, restoran/warung makan/kafe menyediakan layanan antar (delivery atau take away), penutupan area publik, tidak boleh melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan seperti pertunjukan seni, budaya, olah raga.



Kemudian aturan PPKM Darurat sudah direvisi sampai tiga kali yaitu dengan Instruksi Mendagri No. 16 Tahun 2021, Instruksi Mendagri No. 18 Tahun 2021 dan Instruksi Mendagri No. 19 Tahun 2021. Adapun ketiga perubahan dari Instruksi Mendagri No. 15 Tahun 2021 pada intinya adalah pertama, pasal yang berkaitan dengan sanksi terhadap kepala daerah yang tidak melaksanakan PPKM Darurat. 


Kedua, penjelasan rinci mengenai sektor esensial dan kritikal. Ketiga, berkaitan dengan penutupan sementara direvisi menjadi tidak mengadakan kegiatan peribadatan/keagamaan selama masa penerapan PPKM Darurat dan mengoptimalkan pelaksanaan ibada dirumah, dan pelaksanaan resepsi pernikahan yang semula bisa dilaksanakan dengan dihadiri maksimal 30 orang menjadi ditiadakan.


Mengacu pada ketentuan PPKM Darurat, maka pembatasan kegiatan masyarakat merupakan bagian dari kekarantinaan kesehatan. Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mendefinisikan kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor resiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. 


Kata dasar kekarantinaan adalah karantina yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tempat penampungan yang lokasinya terpencil guna mencegah terjadinya penularan (pengaruh dan sebagainya) penyakit dan sebagainya. Sedangkan kekarantinaan berarti hal berhubungan dengan karantina.


Pasal 1 angka 6 UU No. 6 Tahun 2018 mendefinisikan karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, alat angkut atau barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau barang di sekitarnya.


Jadi dalam konteks pandemi covid-19 ini, karantina merupakan pembatasan kegiatan untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang atau masyarakat.


Kekarantinaan kesehatan menjadikan suatu tempat atau wilayah yang diberlakukan pembatasan kegiatan (karantina) yang digunakan sebagai upaya untuk mencegah atau menangkal penyebaran suatu penyakit yang dapat meningkatkan resiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Pasal 1 angka 2 UU No. 6 Tahun 2018 mendefinisikan kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.



Jumlah warga yang terpapar covid-19 sudah mencapai 2,6 juta, dan meninggal dunia mencapai 68 ribu jiwa. Jumlah tersebut sudah bisa menjadi indikator kedaruratan kesehatan masyarakat. Pasal 10 UU No. 6 Tahun 2018 menentukan bahwa pemerintah pusat sebelum menetapkan kedaruratan kesehatan terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor resiko yang dapat menimbulkan kedaruratan masyarakat.



Faktor resiko kesehatan masyarakat adalah hal, keadaan, atau peristiwa yang dapat mempengaruhi kemungkinan timbulnya pengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat (Pasal 1 angka 26 UU No. 6 Tahun 2018).


Faktor resiko kesehatan yang disebabkan oleh covid-19 karena penyebaran virusnya telah berdampak meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas. Dan mengacu pada pendapat WHO bahwa covid-19 merupakan pandemi global (global pandemic). Sehingga Pemerintah Indonesia berdasarkan Kepres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corono Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional menyatakan bencana nonalam yang diakibatkan oleh penyebaran corona virus diseace 2019 (covid-19) sebagai bencana nasional.



PPKM Darurat merupakan kekarantinaan kesehatan karena sebagai upaya mencegah penularan atau penyebaran covid-19. Pertanyaannya adalah mengapa tidak menggunakan istilah Kekarantinaan Kesehatan atau Kedaruratan Kesehatan Masyarakat? Dalam UU No. 6 Tahun 2018 terdapat istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar yang sebenarnya menjadi bagian dalam karantina wilayah. Pasal 15 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2018 menyatakan tindakan kekarantinaan kesehatan berupa pertama, Karantina, Isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi. Kedua, Pembatasan Sosial Berskala Besar. Ketiga, disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap Alat Angkut dan Barang. Keempat, penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan.


Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah dilakukan, dan untuk menanggulangi penyebaran covid-19 dengan peningkatan jumlah yang terpapar yang drasti maka dilakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)  Darurat. Kata ‘darurat’ menujukkan ada situasi genting dan sulit yang membutuhkan penanggulangan segera. Artinya pembatasan kegiatan masyarakat harus ditempuh karena penyebaran covid-19 telah meningkatkan jumlah warga yang terpapar secara signifikan, sehingga membutuhkan penanganan segera. Keterlambatan penanganan akan menjadi faktor yang meningkatkan resiko kesehatan masyarakat. 



Kata ‘darurat’ juga bisa mengacu pada konsep kedaruratan kesehatan masyarakat pada UU No. 6 Tahun 2018. Kedaruratan kesehatan masyarakat yang mencakup dua aspek yaitu kejadian kesehatan masyarakat yang luar biasa dengan ditandai adanya penyebaran penyakit menular dan menimbulkan bahaya (kesehatan) masyarakat. Pasal 10 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2018 menyatakan Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut penetapan pintu masuk dan atau wilayah di dalam negeri yang terjangkit kedaruratan kesehatan masyarakat.


Selanjutnya diatur bahwa penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya (Pasal 11 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018).


Mengacu dari kedaruratan kesehatan masyarakat terkait penyebaran covid-19 maka langkah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus dilakukan. Mengapa tidak digunakan istilah PSBB Darurat, melainkan PPKM Darurat? Padalah PSBB mempunyai dasar hukum yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pembatasan Sosial, selain sudah pernah dilakukan, istilah pembatasan akan mempengaruhi psikologis masyarakat dalam hal ketercakupan wilayahnya.



Berbeda dengan pembatasan kegiatan masyarakat yang seolah-olah hanya membatasi kegiatan tertentu, dan memang aturan PPKM pada intinya memang membatasi kegiatan masyarakat tertentu seperti pasar, restoran, transportasi, kegiatan sosial kemasyarakatan.


Pembatasan kegiatan dan pembatasan sosial adalah dua hal yang sama. Digunakan istilah PPKM Darurat lebih pada mengurangi dampak psikologis dari penggunaan istilah. Pilihan istilah hanya menjadi bentuk eufemistis untuk mengurangi kekagetan. Namun dalam pelaksanannyanya telah dilakukan pembatasan sosial berskala besar di Jawa – Bali. Apalagi kemudian muncul aneka persyaratan perjalanan bagi warga, atau adanya pembatasan mobilisasi warga dari suatu wilayah ke wilayah lain. Kemudian selain persyaratan perjalanan, juga dilakukan penutupan akses jalan baik dalam wilayah tertentu maupun antar wilayah. Perkembangan pelaksanaan PPKM Darurat telah menjadi manifestasi PSBB sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018.


Pasal 59 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2018 menyatakan PSBB paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat dan/atau fasilitas umum. Dan aturan PPKM Darurat telah meliputi ketiga hal yang terdapat dalam PSBB. Namun demikian apapun istilah yang digunakan, substansinya adalah pertama, adanya tindakan kekarantinaan wilayah, kedua, resiko kesehatan masyarakat dan ketiga, kedaruratan kesehatan masyarakat. 


Pertanyaanya kemudian adalah apakah PPKM Darurat telah mampu menjadi alat untuk merespon kedaruratan masyarakat dan mengurangi tingkat resiko kesehatan masyarakat? Jawabannya akan kita lihat setelah jangka waktu PPKM Darurat selesai. 

Iklan