Iklan

Iklan

,

Iklan

 


"Protokol Kegembiraan" Sepak Bola, Tak Mungkin Sempurna Jika Masih Berhadapan Dengan Villain Bernama Corona

Redaksi
Senin, 21 Juni 2021, 18:02 WIB Last Updated 2021-06-21T11:02:26Z
Amir Machmud NS Ketua PWI Jateng.(Foto: Istimewa)


Penulis:  Amir Machmud NS Katua PWI Jawa Tengah


OPINI,harian7.com -  Selalu terhadirkan pesta pada setiap sepak bola tiba  jagat kehidupan diguncang mata dan hati dicencang pun saat dunia masih dilanda kengerian berkutat melawan corona atau sepak bola justru menjadi pencair duka? berpestalah dalam kesempitan dan kita menanti sejarah tertatah. (Sajak “Euro dalam Pandemi”, 2021).


PESTA tak mungkin sempurna, ketika sepak bola masih berhadapan dengan “villain” bernama corona. Lazimnya ketika sebuah kejuaraan sepak bola berskala dunia dan Eropa digelar, media selalu menyematkan label “The Greatest Show on Earth”, pertunjukan terbesar di muka bumi.


Dan, dari banyak aspek, pelabelan itu tidak berlebihan. Kapan pun, sepak bola selalu menggetarkan hati, rasa, dan jiwa manusia. Dia merekatkan satu pandangan, meskipun realitasnya umat manusia tersekat-sekat secara geografis, agama, ras, suku, pandangan politik, dan semua sisi primordi. Itulah masa-masa ketika manusia “memeluk ideologi” yang sama, ikhlas menyatukan rasanya.



Jauh-jauh hari sebelum digelar, biasanya dunia sudah menyambut dengan aneka rupa pengondisian. Maka, Euro 2020 (UEFA tetap melabeli tahun 2020 meskipun digelar pada 2021), seperti hadir dengan “gaya” berbeda. Pesta bola ini menyembul di tengah keprihatinan masyarakat dunia yang masih bersikutat dengan gelombang kedua pandemi covid-19.



Setelah atensi besar yang tercurah ke Liga Champions, Liga Europa, dan liga-liga domestik, seperti tiba-tiba sudah tersodorkan jadwal Piala Eropa Antarnegara. Euro yang resminya dituanrumahi oleh Hungaria, berlangsung di sejumlah negara, di tengah suasana yang serbaterbatas.


Penonton? Tentu tidak mungkin total karena protokol kesehatan tetap ketat mengikat. Tak kita temui keriuhrendahan suporter secara normal. Toh dengan yang terbatas itu, tak terasa senyap stadion seperti dalam dua musim liga-liga domestik tempo hari.


“Keterbatasan” histeria menjadi salah satu “syarat” gelaran “pesta di tengah pandemi”. Di stadion-stadion yang menggelar pertandingan, suasananya memang tidak sesenyap gambaran itu. Walaupun jumlahnya dibatasi, suporter tetap boleh datang berekspresi.


Perayaan gol tak seseru pada masa-masa normal. Para pemain berhati-hati mengekspresikan euforia. Perasaan pun terungkapkan dengan “adaptasi”, menjadi bagian dari penerapan “protokol kegembiraan”. Bukankah itu realitas betapa pesta bola kali ini tidak tuntas sempurna dari perasaan bawah sadar manusia?




Nyatanya, kita masih bisa menyaksikan suporter Inggris di tribune Stadion Wembley bersuka cita merayakan gol Raheem Sterling ke gawang Kroasia. Atau selebrasi para pemain Republik Ceko, ketika Patrik Schick mencetak gol spektakuler ke gawang Skotlandia dari jarak hampir 50 meter.


Pun rona-rona cemas suporter Denmark ketika Christian Erikson mendadak pingsan di tengah lapangan; juga lingkaran galau para pemain Denmark ketika mengerumuni rekannya yang sedang mendapat pertolongan melawan maut.


Bahkan, di Stadion Puskas Arena, Budapest ketika tuan rumah Hungaria menjamu Portugal, tercatat sekitar 60 ribu pononton memadati. Tentu menimbulkan tanda tanya mengapa bisa selonggar itu, namun filterisasi tes jaminan negatif virus merupakan syarat yang tidak bisa ditawar.


Dari ekspresi-ekspresi itu, bukankah sesungguhnya “rasa sepak bola” memang sulit dibendung? Sepak bola tetaplah sepak bola.


Pada bagian lain, kemauan besar menyemarakkan pesta bola itu juga dihadapkan pada kenyataan, sejumlah bintang dari berbagai negara kontestan absen lantaran terpapar covid-19.


INILAH realitasnya: dunia tak lagi sama, seperti yang disampaikan oleh wartawan Amerika spesialis bidang kesehatan masyarakat, Laurie Garrett. Penerima Pulitzer Prize 1996 itu menyatakan, dunia takkan pernah lagi sama, bahkan setelah berakhirnya pandemi virus Corona, bertahun-tahun ke depan.


Lalu pada batas seperti apa kita bakal mencapai kondisi kenormalan?


Kita tidak lagi menggunakan istilah “normal baru”, tetapi “adaptasi perilaku baru”. Dan, demikian pulalah yang sedang berlangsung dalam industri sepak bola dunia, seperti di Euro 2020 ini.


Pada setiap turnamen selalu terdapat fakta tentang tim-tim favorit, para calon bintang, proyeksi inovasi taktik bermain, tim kuda hitam, hingga pembuat kejutan yang mengacak-acak peta kemapanan.


Elemen-elemen daya tarik itu selalu ada dalam setiap Piala Dunia, atau Euro. Apakah kali ini kandidat terkuat itu adalah Portugal, juara bertahan yang tergabung di grup maut bersama Hungaria, serta dua tim yang juga difavoritkan: Prancis, dan Jerman?


Atau yang akan mentas menjadi juara Eropa nanti adalah Italia? Mungkin pulakah Belgia, Belanda, atau Inggris? Bisa jadi pula Spanyol, yang kini tampaknya sulit menemukan lagi tim seeksotik juara Euro 2008, 2021, dan Piala Dunia 2010? Sedangkan Wales dengan Gareth Bale dan Aaron Ramsey-nya juga tak bisa dipandang enteng melihat kiprah awal di grupnya.


Italia sudah secara dini lolos lewat penampilan impresif melawan Turki dan Swiss. Sedangkan Belanda yang merupakan generasi baru di bawah Frank de Boer, memastikan tiket berkat kemenangan 3-2 atas Ukraina dan 2-0 atas Austria. Tetangganya, Belgia lewat kesempatan terakhir generasi emasnya, juga sudah aman. Eden Hazard dkk menang 3-0 atas Rusia dan 2-1 atas Denmark.


Hasil-hasil awal memberi gambaran, walaupun tentu belum utuh. Italia oke, Inggris yang tuntas membalas dendam kekalahan di semifinal Piala Dunia 2018 dari Kroasia juga oke, kendati dalam laga kedua bermain tanpa gol dengan Skotlandia.


Sejumlah tim melakukan peremajaan signifikan. Gli Azzurri Italia dan Der Oranye Belanda, misalnya. Selecao Das Quinas Portugal juga makin matang dengan talenta-talenta dunia yang seakan tak henti muncul.


Inggris paling progresif membawa para pemain muda di antara para pilar matangnya. Rerata usia mereka 25,2 tahun. Catatlah ini: dari Ben Chilwell, Jude Bellingham, Ben White, Reece James, Declan Rice, Kalvin Phillips, Mason Mount, Jack Grealish, Phil Foden, Jadon Sancho, Marcos Rashford, Dominic Calvert Lewin, hingga Bukayo Saka.


Di tengah konstelasi inilah, para pengusung tim-tim kesayangan seolah-olah tak peduli ini kondisi pandemi atau normal.


Di balik aneka pembatasan, sepak bola tetap menghadirkan keindahan dengan misteri-misterinya. Euro 2020 menghamparkan daya tarik khusus: siapa yang mampu menaklukkan kondisi pandemi ini dengan trofi juara, lewat cara yang bergaya?


Apa pun bentuknya, bakal tertoreh sejarah di balik pesta yang kurang sempurna…

Iklan