Iklan

,

Iklan

Menimbang PSBB sebagai Pemutus Pandemi Covid-19

Redaksi
Kamis, 23 April 2020, 02:41 WIB Last Updated 2020-04-22T19:50:34Z
Yakub Adi Krisanto (Berdiri dengan mengenakan kaos hitam)
Penulis: Yakub Adi Krisanto (Dosen FH UKSW & Advokat)

Editor: M.Nur

Opini,harian7.com - Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat ini seolah menjadi pilihan yang sulit dihindari, ketika pandemi Covid-19 memakan jumlah korban yang terus bertambah. PSBB menjadi strategi baru yang diharapkan bisa menekan laju penularan pandemi Covid-19.

Padalah PSBB sebenarnya bukan hal baru sama sekali dalam konteks substansi. PSBB sebelumnya menjadi frasa kurang populer, kalah dengan istilah social distancing, isolasi atau karantina. Tanpa disadari awal dilaksanakannya kebijakan social distancing di beberapa daerah atau kemudian menjadi trend, tindakan yang diambil oleh pemerintah daerah maupun pusat sebenarnya sudah merupakan pelaksanaan PSBB.

Dasar hukum PSBB adalah UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah yang mendefinisikan sebagai pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Definisi PSBB ini perlu dilihat dalam hal kedaruratan kesehatan masyarakat yaitu menjadi respon atas terjadinya kejadian luar biasa karena adanya penyebaran penyakit menular yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara (Pasal 59 ayat (1) jo Pasal 1 angka 2 UU No. 6 Tahun 2018).


Sebagaimana disebutkan diatas bahwa sebenarnya PSBB sudah dilakukan pada saat kebijakan social distancing dilakukan, bahkan sebelum PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) diterbitkan.tanggal 31 Maret 2020.


Kebijakan social distancing marak dilakukan pada akhir bulan Februari atau awal bulan Maret 2020 dengan langkah-langkah antara lain meliburkan sekolah, mengurangi kegiatan pemerintahan daerah dan kampanye penggunaan masker, hand sanitizer atau cuci tangan.


PSBB dan Social Distancing


Kebijakan social distancing yang ditempuh oleh pemerintah daerah sebenarnya merupakan PSBB apabila mengacu pada Pasal 59 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa PSBB meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat umum atau fasilitas umum. Mengacu kegiatan PSBB dalam UU No. 6 Tahun 2018 maka sebenarnya PSBB sudah dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah.


Dengan demikian secara sosiologis, PSBB sudah dilakukan sebelumnya terbitnya PP No. 21 Tahun 2020 sebagai amanat dari Pasal 60 UU No. 6 Tahun 2018. Pasal 60 menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan pelaksanaan karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit dan PSBB diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kegiatan yang termasuk dalam kategori PSBB sudah dilakukan atau diterapkan di wilayah kota atau kabupaten di Indonesia sebelum PP No. 21 Tahun 2020 diterbitkan. Sehingga dengan demikian PP tersebut menjadi terlambat karena kegiatannya sudah dilakukan (de facto), namun secara de jure baru diterbitkan tanggal  31 Maret 2020 dengan PP No. 21 Tahun 2020.


PP No. 21 Tahun 2020 mengatur mengenai kriteria dan pelaksanaan PSBB, sehingga pada awal diterbitkan beberapa pihak menilai PP tersebut terlalu birokratis. Penilaian tersebut kemudian ditanggapi oleh Presiden Jokowi dengan mengemukakan bahwa tidak ingin tak tepat sasaran, jangan sampai mengambil keputusan itu salah, semuanya harus hati-hati dan tidak grasah-grusuh dan pelaksanaan PSBB ini tidak diberlakukan secara seragam di seluruh Indonesia, melainkan kita ingin melihat kondisi masing-masing daerah.

PP No. 21 Tahun 2020 secara sistematika memuat 7 Pasal yang sebagian isinya mengambil dari UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 1 memuat mengenai definisi PSBB yang fokus pada pencegahan Covid-19. Pasal 2  memuat mekanisme PSBB dengan persetujuan Menteri Kesehatan dan pertimbangan yang perlu dikaji dalam menyetujui PSBB. Pasal 3 merupakan substansi dari Pasal 49 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2018. Perbedaannya dalam UU No. 6 Tahun 2018 mengatur cakupan yang lebih luas dalam konteks kekarantinaan kesehatan dan kedaruratan kesehatan masyarakat.


Pasal 4 juga sudah diatur dalam Pasal 59 UU No. 6 Tahun 2018 yaitu kegiatan yang dilakukan dalam rangka PSBB. Pasal 5 mengatur mengenai perlunya tetap merujuk pada UU No. 6 Tahun 2018 ketika PSBB telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Pasal 6 memuat mekanisme penetapan PSBB yaitu pertama, usulan  dari kepala daerah kepada Menteri Kesehatan dan kedua, usulan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Pasal 7 mengatur mengenai keberlakuan PP tersebut.

Dalam hal demikian, mengacu pada PP No. 21 Tahun 2020 maka PSBB hanya merupakan status hukum dalam rangka kekarantinaan wilayah pada situasi kedaruratan kesehatan masyarakat. PP mengatur mengenai kriteria dan mekanisme penetapan status (hukum) PSBB di suatu wilayah dengan mempertimbangkan kondisi tertentu.


PSBB: Kekarantinaan Kesehatan dan Penegakan Hukum


Secara umum pertimbangan untuk menetapkan PSBB adalah pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (Pasal 49 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2018 jo Pasal 2 ayat (1) PP No. 21 Tahun 2020). Sedangkan pertimbangan khususnya diatur dalam Pasal 3 PP No. 21 Tahun 2020 yaitu pertama, jumlah kasus danlatau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah. Kedua, terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

Diantara pertimbangan umum dan khusus ada benang merah yang harus diperhatikan dalam menetapkan PSBB yaitu epidemiologis. Pemahaman epidemiologis tidak dapat diketahui di UU No. 6 Tahun 2018, melainkan terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular mengatur tentang penyelidikan epidemiologis dalam rangka penanggulangan wabah. Penjelasan pasal tersebut menjabarkan mengenagi penyelidikan epidemiologis adalah penyelidikan untuk mengenal sifat-sifat penyebabnya serta faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya wabah. Dengan adanya penyelidikan tersebut, maka dapat dilakukan tindakan-tindakan penanggulangan yang paling berdaya guna dan berhasil guna oleh pihak yang berwajib dan/atau yang berwenang. Dengan demikian wabah dapat ditanggulangi dalam waktu secepatnya, sehingga meluasnya wabah dapat dicegah dan jumlah korban dapat ditekan serendah-rendahnya.


Dalam konteksi inilah penegakan hukum terhadap penetapan PSBB menemukan relevansinya yaitu UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Bahwa dengan munculnya wabah penyakit menular, dalam hal ini adalah Covid-19 maka perlu dilakukan kekarantinaan wilayah sebagai respon terhadap situasi kedaruratan kesehatan masyarakat di suatu wilayah.


Di kedua undang-undang tersebut mengatur mengenai mekanisme penegakan hukum yang tidak diatur dalam PP No. 21 Tahun 2020. Penegakan hukum terhadap penetapan PSBB perlu dilakukan untuk menjaga kepatuhan warga dan pemberian hukuman atas ketidakpatuhan pelaksanaan PSBB. Penegakan hukum ini perlu diletakkan dalam perspektif, pertama, bahwa wabah penyakit menular yang menurunkan kemampuan hidup sehat dibutuhkan upaya penanggulangan. Kedua, bahwa PSBB merupakan bagian dari kekarantinaan kesehatan.


Bertolak dari dua perspektif diatas maka penegakan hukum berkaitan dengan pertama, penanggulangan wabah penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1984. Kedua, ketidakpatuhan atas penyelenggaraan kekarantinaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018.

Covid-19 yang sudah dikategorikan sebagai bencana non alam berdasarkan Kepres No. 12 Tahun 2020 diperlukan upaya penanggulan oleh pemerintah. Covid-19 dinyatakan sebagai bencana non alam karena sudah menjadi wabah (pandemic) di wilayah Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 huruf a UU No. 4 Tahun 1984, wabah penyakit menular yang selanjutnya disebut wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Covid-19 sudah menjadi wabah karena peningkatan jumlah penderita baik yang positif maupun meninggal, serta potensi penyebaran ke wilayah lain berkaitan dengan mobilitas penduduk.

Covid-19 sebagai wabah dan dinyatakan sebagai bencana non alam membutuhkan penanggulangan. Upaya penanggulangan wabah mempunyai 2 (dua) tujuan pokok yaitu pertama, berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan. Kedua, membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak meluas ke daerah lain. Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1984 mengatur mengenai upaya penanggulangan, meliputi;

a.penyelidikan epidemiologis;

b. pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina;

c. pencegahan dan pengebalan;

d. pemusnahan penyebab penyakit;

e. penanganan jenazah akibat wabah;

f. penyuluhan kepada masyarakat;

g. upaya penanggulangan lainnya.

Terhadap upaya penanggulangan wabah tersebut, maka berdasarkan Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1984 dapat dipidana apabila pertama, barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Tindak pidana menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah merupakan kejahatan. Kedua, barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Tindak pidana melakukan kealpaan yang mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah adalah pelanggaran.

Penegakan hukum lain terhadap pelaksanaan PSBB diatur dalam 93 UU No. 6 Tahun 2018. Perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana adalah tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda maksimal Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Tindak Pidana dalam Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 berkaitan dengan kewajiban bagi setiap orang mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.


Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan? Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2018 menyatakan kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Kata kunci penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal, dan kedaruratan kesehatan masyarakat. Pencegahan dan penangkalan perlu dikaitkan dengan upaya penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1984.

Kekarantinaan kesehatan menjadi upaya mengurangi potensi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Sehingga ketidakpatuhan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan berkaitan dengan upaya penanggulangan wabah dan peningkatan potensi kedaruratan kesehatan masyarakat.


PSBB akan efektif apabila pertama, mengidentifikasi upaya penanggulangan. Kedua, ketersediaan dan kapasitas sumber daya yang dimiliki suatu wilayah (kota/kabupaten). Ketiga, mengidentifikasi resiko dan/atau potensi yang dapat mengurangi upaya penanggulangan. Keempat, penegakan hukum dengan sebelumnya mengidentifikasi atau mengkualifikasikan perbuatan yang dapat dilakukan penegakan hukum dalam rangka melakukan upaya penanggulangan. Kelima, mengupayakan tahan pemulihan awal pasca dilakukannya PSBB. Efektifitas tersebut perlu ditentukan kerangka acuan dari pemerintah pusat yang dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi masyarakat yang ditetapkan PSBB.

Penutup

PSBB yang mengedepankan penegakan hukum hanya akan menjadi lahan kriminalisasi bagi perbuatan-perbuatan yang dalam kondisi normal merupakan bukan tindak pidana. Dalam hal ini, sebelum dilakukan penegakan hukum memenuhi faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan perlu dipenuhi oleh pemerintah daerah. Faktor sosial, budaya dan ekonomi perlu menjadi pertimbangan matang agar PSBB tidak menjadi bumerang bagi pemerintah karena kegagalan melakukan identifikasi upaya penanggulangan dan ketersediaan sumber daya di daerah tersebut.


Pemahaman bahwa PSBB adalah bagian dari kekarantinaan kesehatan dalam rangka memutus pandemi Covid-19 perlu dilakukan oleh pemangku kepentingan, khususnya Gugus Tugas di suatu daerah. Sebagai bagian dari kekarantinaan kesehatan, maka PSBB menjadi upaya cegah tangkal penyebaran Covid-19. Sehingga PSBB harus mampu mencegah dan menangkal penyebaran Covid-19 di wilayah yang diterapkan PSBB. Ketika suatu daerah sudah ditetapkan PSBB, namun jumlah ODP, PDP bahkan yang positif bertambah maka PSBB dapat dinyatakan gagal.(*)

Iklan