Iklan

Iklan

,

Iklan

Mencandra Maraknya Tindak Kriminal ditengah Pandemi

Redaksi
Senin, 27 April 2020, 02:16 WIB Last Updated 2020-04-26T19:16:46Z
Yakub Adi Krisanto saat mengikuti bakti sosial beberapa waktu lalu.
Penulis: Yakub Adi Krisanto SH MH (Dosen FH UKSW & Advokat)

Opini,harian7.com - SEANDAINYA, aktor intelektual yang melakukan dropping pelaku kriminal bertujuan membuat takut masyarakat agar menjalan STAY AT HOME, maka akan jadi bumerang bagi tujuan tersebut. Memang ada arahan bagi penegakan hukum untuk melakukan tindakan terukur, namun bagaimana apabila kemudian ternyata ada serangan balik untuk melakukan penjarahan aka perampokan massal? Di satu sisi, masyarakat yang awalnya mjd garda perlawanan kemudian mjd 'penonton' bahkan diajak 'berpartisipasi', bisa membayangkan apa yang akan terjadi??

Mengkaitkan tindak kriminal kekinian sbg akibat pembebasan narapidana, dalam konteks Salatiga, dari 30an yang dibebaskan, yang dibebaskan adalah napi kasus narkoba, penggelapan/penipuan. Untuk itu faktor sebab-akibat, perlu dilihat mendalam napi dengan kasus apa saja yang dibebaskan? Kasus perampokan ataukah kasus2 yang tidak berkaitan dengan pengambilan paksa harta benda, karena tidak mungkinkan napi korupsi akan keluar terus melakukan kejahatan jalanan (street crime).

APABILA melihat dari perspektif melakukan kejahatan karena kebutuhan atau perut lapat (crime by need), apakah memang sudah begitu parahkah kondisi kesejahteraan masyarakat sehingga memilih menjadi penjahat? Orang mati atau orang (menjadi) jahat karena kelaparan, hanya dengan melihat 'angka' itu belum mengkuatirkan. Kalau memang dinilai sudah ditahap mengkuatirkan, tentu solusinya tidak cukup penegakan hukum represif, tetapi preemtif dan preventif.

Untuk itu, ketika dikaji tindak kriminal ditengah pandemi bisa mjd anomali, sekaligus gambaran buruk dampak melemahnya perputaran roda ekonomi. Menjadi tugas pemerintah untuk menjamin warga tidak lapar. Namun, sudah ada pernyatan dari salah satu pejabat agar masyarakat saling membantu. Pernyataan itu bagus, namun menjadi transformasi protokol kesehatan pandemi ke kebijakan yaitu CUCI TANGAN. Apapun Negara bertanggung jawab atas tersedianya bahan pokok di masyarakat.

Tanggung jawab inilah menjadi koreksi kebijakan pengadaan pangan, khususnya di tahun 2020. Import menjadi pilihan logis dari keadaan dalam negeri. Pandemi melemahkan sisi permintaan dan penawaran di pasar. Kondisi inilah yang harus segera diambil pilihan kebijakan segera. Menyediakan pasokan bahan pokok adalah keharusan. Terlambat sedikit, kekuatan masyarakat menahan beban sosial-ekonomi pandemi mampu merubah sabar menjadi gusar.

Keterlambatan ini jangan sampai di tumpangi fakta kegagalan pemerintah mengelola PSBB di beberapa daerah. PSBB yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan mewajibkan pemerintah memenuhi hak warga mendapatkan kebutuhan pokok. Ketika hak warga tidak mampu dipenuhi oleh Pemerintah pada saat pemberlakuan PSBB maka sabar menjadi gusar akan cepat terunggah di media. Ketakutan terhadap Covid-19 akan dikalahkan oleh ketakutan terhadap lapar diri sendiri atau keluarga.

Kekuatiran terhadap Covid-19 jangan ditambahi dengan ketakutan menjadi korban tindak kriminal dan potensi kelaparan. Masyarakat sedang membangun pertahanan diri dan sosial agar bisa beradaptasi dengan kondisi pagebluk (pandemic) ini. Main hakim sendiri (eigenrechting) akan menjadi katarsis sosial bagi masyarakat yang sudah kuatir dan takut ketika berhadapa dengan aneka tindak kriminal. Dalam hal ini, penutupan wilayah secara mandiri oleh warga akhirnya tidak hanya untuk mencegah penyebaran covid-19, melainkan untuk mempertahankan diri terhadap aksi kriminal.

Negara harus hadir dan adil. Kehadiran negara dapat dicandra dengan nyata, bukan hanya pernyataan di media. Laporan warga yang belum mendapatkan bantuan padahal layak mendapatkan bantuan sebaiknya segera direspon dengan cepat. Pembagian sembako yang tidak merata akan memicu penambahan tingkat kefrustasian. Dan seandinya itu dibagikan dan terjadi solidaritas, maka kewibawaan akan jatuh. Kejatuhan kewibaaan pemerintah di mata publik dapat berpengaruh terhadap dorongan-dorongan untuk memilih langkah destruktif ketika ada yang berani memicu. Psikologi massa inilah yang harus dikelola dengan baik agar tidak menjadi kegaduhan yang berpotensi pada ketidakteraturan massal.(*)

Iklan