Opini Hukum,harian7.com - Mahkamah Konstitusi (MK) No.
18/PUU-XVII/2019 memberi angin segar bagi debitur perusahaan pembiayaan sebagai
konsumen yang membeli kendaraan bermotor dengan cara angsuran. Amar Putusan MK
No. 18/PUU-XVII/2019 adalah menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama
dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang
cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela
obyek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum
dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan
berlaku sama dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap”.
Kedudukan yang tidak seimbang antara debitur dan kreditur
dalam perjanjian kredit bermotor dengan cara angsuran melahirkan kesewenang-wenangan
kreditur terhadap obyek jaminan fidusia. Kesewenang-wenangan yang terjadi di
lapangan ketika perusahaan pembiayaan menggunakan pihak eksternal perusahaan
untuk menarik kendaraan bermotor yang angsurannya bermasalah. Bahkan kasus di
beberapa daerah, kesewenang-wenangan ini melahirkan gejolak sosial yang
mendorong perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting )
terhadap debt collector .
Perampasan atau perbuatan dalam berbagai bentuk yang
mengarah pada teror terhadap kendaraan bermotor atau debitur marak terjadi.
Perlawanan debitur terhadap pihak-pihak yang ingin mengambil paksa ataupun
dengan cara yang lebih persuasif terhadap debitur sudah banyak diberitakan.
Langkah kreditur terhadap kendaraan bermotor yang dijaminkan secara fidusia (obyek
jaminan fidusia) untuk mengeksekusi dalam rangka memperoleh pengembalian biaya
yang sudah dikeluarkan lebih dahulu salah satunya adalah menggunakan pihak lain
(pihak eksternal perusahaan). Pihak lain yang merupakan pihak diluar perusahaan
pembiayaan yang melakukan penagihan terhadap debitur.
Penarikan atau eksekusi obyek jaminan fidusia oleh penerima
fidusia (kreditur) selain didasarkan Pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut dengan UU Jaminan Fidusia),
juga didasarkan pada Pasal 29 dan Pasal 30. Pasal 30 UU Jaminan Fidusia
mengatur, “Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.” Aturan Pasal 30 ini
dibaca dan digunakan oleh Perusahaan Pembiayaan untuk mengeksekusi obyek
jaminan fidusia.
Norma Pasal 30 yang memuat kata “wajib” seolah menjadi
mantra untuk bisa secara sewenang-wenang mengeksekusi obyek jaminan fidusia.
Pelaksanaan Pasal 30 ini memperoleh legitimasi di lapangan dengan menyandingkan
Pasal 15 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, “Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan irah-irah tersebut,
Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutoral yang sama dengan
putusan pengadilan yan telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 15 ayat (2) UU
Jaminan Fidusia.
Kekuatan eksekutorial dalam Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan
Fidusia menjadi dalih untuk mengambil paksa kendaraan bermotor yang menjadi
obyek jaminan fidusia. Pelaksanaan eksekusi yang cenderung sewenang-wenang dan
sering menimbulkan masalah sosial sebenarnya telah disikapi oleh Polri.
Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut Perkap Eksekusi Jaminan Fidusia)
dalam bagian Menimbang huruf b mengemukakan tafsir dari Polri berkaitan dengan
kedudukan eksekusi jaminan fidusia mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedudukan inilah yang
mendorong Polri melakukan pengamanan eksekusi jaminan fidusia.
Perkap Eksekusi Jaminan Fidusia mengatur mekanisme
pengamanan eksekusi dengan ketentuan antara lain pertama , memenuhi persyaratan pengamanan yaitu benda jaminan yang
telah didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia (Pasal 5 Perkap). Kedua , mengajukan permohonan pengamanan
eksekusi yang diajukan kepada Kapolda atau Kapolres (Pasal 7 Perkap). Ketiga,
untuk permohonan pengamanan yang diajukan oleh pihak ketiga
dilakukan dengan melampirkan perjanjian kerja sama eksekusi jaminan fidusia
antara penerima jaminan fidusia dengan pihak ketiga tersebut (Pasal 9 ayat (1)
Perkap). Keempat ,
pelaksanaan yang meliputi persiapan, pelaksanaan dan pengawasan dan pengendalian
(Pasal 14 Perkap).
Perkap ini tidak efektif untuk mencegah kesewenang-wenangan
penerima jaminan fidusia (perusahaan pembiayaan) atau pihak ketiga (pihak
eksternal perusahaan, debt collector) terhadap debitur. Upaya paksa pada
saat eksekusi obyek jaminan fidusia terus berlangsung, demikian juga perlawanan
debitur atau masyarakat terhadap pihak penerima jaminan fidusia terus marak,
bahkan menciptakan kerawanan sosial. Bahkan penegakan hukum dengan memidanakan debt
collector atau pihak yang dengan upaya paksa memaksa mengambil obyek
jaminan fidusia tidak menimbulkan efek jera.
Pemohon pengujian Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan
Fidusia adalah korban yang mengalami eksekusi jaminan fidusia. Dengan adanya
Putusan MK No.
18/PUU-XVII/2019 memberi tafsir baru dalam pelaksanaan
eksekusi jaminan fidusia. Pertama,
kekuatan eksekutorial dan sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kedua , hak milik atas benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia berada pada penerima fidusia (debitur), sedangkan fisik
bendanya berada pada pemberi fidusia (debitur).
Ketiga,
bahwa ketika tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dari
debitur dan debitur
keberatan menyerahkan secara sukarela obyek jaminan
fidusia, maka kreditur harus menempuh mekanisme dan prosedur hukum dengan
mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Keempat , cidera janji (wanprestasi) tidak
ditentukan sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara
kreditur dan debitur atau atas dasar upaya hukum (gugatan wanprestasi) yang
menentukan telah terjadi cidera janji.
Dengan demikian, pasca Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019
kreditur sebagai penerima jaminan fidusia tidak bisa serta melaksanakan
eksekusi jaminan fidusia berdasarkan Pasal 30 jo Pasal 15 UU Jaminan Fidusia. Pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia harus memenuhi putusan MK yaitu pertama ,
apabila ada kesepakatan tentang cidera janji dari debitur, maka menyerahkan
sukarela obyek jaminan fidusia. Kedua, cidera janji (wanprestasi) tidak
ditentukan secara sepihak oleh Kreditur, melainkan atas kesepakatan debitur dan
kreditur. Ketiga,
apabila debitur tidak mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) dan keberatan
menyerahkan obyek jaminan fidusia maka kreditur harus mengajukan permohonan
pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
Penulis : Yakub Adi Krisanto SH MH