Iklan

Iklan

,

Iklan

PONPES DALAM PERSPEKTIF UU NO. 18 TAHUN 2019 TENTANG PESANTREN (Catatan kecil menuju Penyelenggaraan Ponpes yang berkualitas)

Redaksi
Senin, 13 Januari 2020, 22:01 WIB Last Updated 2020-01-13T15:13:24Z
Opini,harian7.com - Bagi yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren tentu banyak kisah suka duka yang tertoreh yang menjadi kenangan tersendiri.

Pondok pesantren bagi banyak orang adalah penjara, namun bukan penjara bagi pelaku tindak pidana seperti halnya lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan (Rutan). Namun Pondok Pesantren merupakan "penjara suci" hal demikian karena hidup dipondok pesantren laksana hidup di penjara dengan separangkat peraturan ketat untuk membentuk tata cara kehidupan yang tertib dan disiplin.Hidup di pondok kita tidak bisa bebas seenaknya karena di Pondok kita dididik untuk belajar ilmu Agama dan rohani sebagai bekal untuk menjalani kehidupan sehingga penjara yang dijalani adalah "penjara suci".

Setelah bebas dari "penjara suci" tersebut atau lulus dari pondok pesantren maka diharapkan bisa menjalani kehidupan dengan mendasarkan pada pengetahuan ilmu Agama dengan menebar kesejukan, kedamaian dan keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pondok Pesantren, Kyai dan Santri adalah bagian tidak terpisahkan dalam rekam jejak sejarah dan peradaban Nusantara sejak paruh abad 14 M yang menggeliat sambung menyambung dalam sanad keilmuan tercipta hubungan guru - murid yang selanjutnya centang perentang menjelma menjadi gerakan untuk untuk membentuk bersatunya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Geliat Pondok Pesantren masih tetap lestari hingga saat ini yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, keunikan dalam metodologi pesantren telah secara nyata memberi nilai tambah yang signifikan dalam mengisi kemerdekaan, merawat keberagaman dan toleransi, memperkokoh demokrasi dan mendorong laju pembangunan sehingga diperkirakan jumlah Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia adalah lebih dari 28.984 Pondok Pesantren dan lebih dari  4.290.626 santri (Data Kemenag Statistik dan akreditasi pada tahun 2018)

Untuk menghormati peran besar Santri maka tiap tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional (HSN) dengan mengacu pada dasar yuridis yaitu Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Bahwa selain Perpres tentang HSN tersebut maka untuk memproteksi dan mengembangkan lembaga Pondok Pesantren maka saat ini telah di syahkan Undang Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren dengan mengacu pada dasar jukum yaitu Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, Pasal 28B, Pasal 29, dan Pasal 31 UUD 1945

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren mengatur mengenai penyelenggaraan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, selanjutnya mencermati UU tersebut setidaknya dapat terbaca jika maksud dari pada regulasi tersebut adalah untuk menjamin penyelenggaraan Pesantren guna menjalankan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat melalui rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi kepada Pesantren berdasarkan tradisi dan kekhasannya sehingga pesantren kedepan dapat lebih  maksimal didalam  memainkan perannya tersebut diatas tanpa mengurangi corak yang unik dan khas yang berjalan beriring mengikuti bersamaan dengan dinamika bangsa ini.

Pesantren sebagai lembaga berbasis masyarakat maka sumber pendanaan utama pada prinsipnya berasal dari masyarakat, namun demikian pemerintah Pusat membantu pendanaan melalui APBN yang sesuai dengan kemampuan keuangan negara, sedangkan pemerintah daerah membantu pendanaan  melalui  APBD yang sesuai dengan kewenangannya, selain itu sumber pendanaan pesantren juga bisa bsumber dari donatur lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut UU tersebut maka Pemerintah Pusat menyediakan dan mengelola dana abadi Pesantren untuk memastikan ketersediaan dan ketercukupan anggaran dalam pengembangan Pesantren.

UU tersebut juga mengatur kerja sama Pesantren dengan lembaga lainnya yang bersifat nasional maupun internasional, melalui program pertukaran peserta didik, perlombaan, sistem pendidikan, kurikulum, bantuan pendanaan, pelatihan dan peningkatan kapasitas, serta bentuk kerja sama lainnya yang dapat  dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Dalam UU tersebu maka setidaknya terdapat 3 aspek yang menjadi dasar yaitu 1. Aspek filosofis yang bertolak dari Konstitusi UUD 1945 yaitu jaminan bagi setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kedua, aspek sosio-historis yaitu Pesantren dengan kekhasannya tumbuh dan berkembang di masyarakat dituntut untuk dapat melahirkan insan beriman dan bertaqwa yang memiliki karakter cinta tanah air. Ketiga, aspek yuridis maka dengan telah syahkanya UU tersebut maka secara hukum Pondok Pesantren telah memiliki kedudukan yang   jelas dan pasti sebagai elemen bangsa, karenanya didalam penyelenggaraannya Ponpes sekarang memiliki proteksi dan perhatian dari Negara.

Melalui UU tersebut maka secara garis besar Ponpes sekarang harus lebih mampu meningkatkan kualitasnya dengan tetap teguh mempertahankan norma-norma umum penyelenggaraan pesantren, rukun pesantren (arkanul ma’had), dan jiwa pesantren (ruhul ma’had).

Penyelenggaraan pendidikan dipesantren juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem pendidikan nasional namun pengelolaan data, dan informasi pesantren disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan kekhasan pesantren, pendanaan bagi penyelenggaraan pesantren, kerja sama pesantren dengan lembaga lainnya, hingga partisipasi masyarakat.

Dalam UU tersebut memuat 10 Bab dan 42 Pasal, yang terdiri dari 1) Ketentuan Umum 2) Asas, Tujuan Dan Ruang Lingkup 3), Penyelenggaraan Pesantren 4), Pembinaan 5), Pengelolaan Data Dan Informasi 6), Pendanaan 7), Kerja Sama 8),  Partisipasi Masyarakat 9), Ketentuan Peralihan dan 10) Ketentuan Penutup.

Mencermati beberapa pasal dalam UU tersebut maka ada beberapa hal yang penting di antaranya pada Bab 1 Pasal 1, yang dimaksud ‘Pesantren’ di dalam RUU tersebut adalah lembaga yang berbasis dan didirikan oleh masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, menyemaikan akhlakul karimah dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia melalui pendidikan, dakwah Islam rahmatan lil’alamin, ketaladanan, dan khidmah.

Pada Bab II Pasal 2, penyelenggaraan pesantren berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kebangsaan, kemandirian, pemberdayaan, kemaslahatan, multikultural, profesionalisme, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kepastian hukum. Selanjutnya, pada Bab III tentang Penyelenggaraan Pesantren pasal 5 menerangkan bahwa pesantren wajib mengembangkan Islam rahmatan lilalamin dan berlandaskan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

Adapun pasal 6-10 membahas tentang unsur-unsur pesantren, kompetensi kiai, tipologi santri, asrama, masjid/musholla, hingga uraian kajian kitab kuning/dirasah islamiyah. Dalam Pasal 11-12 berisikan tentang pendirian dan penyelenggaraan pesantren oleh masyarakat di mana nantinya akan diatur oleh dengan Peraturan Menteri, namun tetap menampilkan kekhasan, yang mencerminkan tradisi, kehendak dan cita-cita, serta ragam, dan karakter pesantren. Sedangkan untuk Pasal 13-31 membahas mengenai tiga fungsi pesantren yang terdiri dari fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam. Pasal 14 menyebutkan pesantren dapat menyelenggarakan pendidikan formal (jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi) dan pendidikan non formal (pengajian kitab kuning). Selain itu, kurikulum pendidikan muadalah dan pendidikan diniyah formal juga dijelaskan di dalam Pasal 15-16. Kedua pasal ini berisi rumusan mengenai kurikulum keagamaan Islam (berbasis kitab kuning) dengan pola muallimin dan kurikulum umum (seperti pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, seni, dan budaya).

Barangkali sekarang yang menjadi tantangan bagi para pegiat Pondok Pesantren adalah untuk mendesak pemerintah agar selekasnya mengesahkan perangkat aturan pelaksana secara tehnis dan relevan atas UU Pondok Pesantren, misalnya Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Pendidikan, Peraturan Menteri Agama, Peraturan Gubernur atau Perda Propinsi serta Peraturan Daerah Kabupaten Kota seluruh Indonesia.

Begadang malam sampai kurang tidur hingga dapat tidur ditempat mana saja, mandi kucing karena antrean panjang di kamar mandi, kulit gatel karena gudiken, terburu buru mengejar setoran hafalan, makan hanya dengan lauk ikan asin atau panik karena uang kiriman habis serta banyak kisah suka duka tinggal di pesantren adalah kenangan yang masih sangat dindukan.

Ditulis oleh: Sofyan Mohammad
Praktisi Hukum
Pegiat LPBHNU Salatiga 
Sehari hari tinggal di Desa bantaran kali Serang Muncar

Iklan