Iklan

Iklan

,

Iklan

 


Kades Glapansari: Bawang Putih Pernah Menjadi Primadona

Redaksi
Jumat, 30 Maret 2018, 00:43 WIB Last Updated 2018-03-29T17:43:50Z
Lurah Glapansari, Sukengrio (bertopi hitam) bersama peneliti dan penyuluh BPTP Jawa Tengah.
Temanggung,Harian7.com - Kegiatan perbenihan bawang putih yang dirintis oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah membawa harapan baru bagi petani di Desa Glapansari, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung. Bagi penduduk di lereng Gunung Sumbing itu, bawang putih pernah menjadi primadona kedua setelah tembakau.

Kepala Desa Glapansari Sukengrio mengungkapkan, kegiatan perbenihan bawang putih tersebut bisa menjadi percontohan bagi petani yang ada di Desa Glapansari, maupun desa lain yang menjadi lokasi perbenihan yaitu Desa Petarangan dan Desa Kruwisan, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung.

“Selama ini cara proses penanaman yang dilakukan petani mungkin belum sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur). Paling tidak petani bisa mencontoh teknik-teknik yang telah disampaikan BPTP agar produktivitasnya tinggi sehingga bisa memacu pendapatan petani. Jadi ada transfer ilmu dan transfer teknologi,” ungkap Sukengrio kepada harian7.com belum lama ini.

Lebih lanjut Sukengrio mengungkapkan, warga Desa Glapansari 99% berprofesi sebagai petani, meskipun sebagian warga punya pekerjaan lain dan sudah sejak zaman dulu Desa Glapansari menjadi lahan pertanian. Namun, kebiasaan petani dalam menggarap lahan membuat tingkat kesuburan mengalami degradasi.

Salah satu penyebabnya, proses pembuatan gundukan tanah yang masih searah lereng sehingga rawan longsor. Hasil uji konservasi yang dilakukan Balittas (Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) Malang pada tahun 1991-1997 menyebutkan bahwa kondisi erosi di Desa Glapansari luar biasa, diatas 45 ton perhektar/tahun. Bahkan penelitian baru tingkat erosi sampai 60 ton per hektar/tahun.

" Dengan kondisi tersebut saya sangat khawatir cara menggarap lahan yang dilakukan petani selama bertahun-tahun itu bisa menyebabkan tanah lapisan atas terkikis hingga lapisan batu induk. Hal itu bisa menyebabkan tanah menjadi marjinal, tidak subur untuk ditanami,"tutur Sukengrio.

Sukengrio berharap BPTP juga memberi percontohan untuk proses pengolahan lahan yang baik. Misalnya bagaimana cara nyabuk gunung (memotong lereng) untuk menahan erosi sehingga zat-zat organik yang subur tidak mengalir terbawa arus.

Pria kelahiran tahun 1982 itu mengisahkan sejak dulu warga desa Glapansari terbiasa menanam bawang putih. Bahkan pada tahun 1980 akhir hingga 1990 awal, bawang putih menjadi primadona kedua setelah tembakau. Saat itu harga bawang putih sangat menjanjikan, sekitar Rp 4.000/kilogram. Sewaktu panen bawang putih, petani bisa beli sepeda motor dan menyekolahkan anak.

“Memasuki era reformasi, ternyata harga bawang jatuh hingga Rp 1.800/kilogram, tidak sesuai dengan tingkat inflasi sehingga lambat laun petani sudah tidak mau menanam bawang putih,” ungkapnya.

Sukengrio bersyukur karena Desa Glapansari menjadi salah satu lokasi program penanaman bawang putih. Kegiatan ini diharapkan mampu menggerakkan petani untuk kembali menanam bawang putih, yang saat ini harganya cukup menjanjikan dan produktivitasnya masih cukup lumayan.

Penanaman bawang putih di Desa Glapansari terdiri dari berbagai program di area seluas 200 hektar. Rinciannya, program yang dibiayai APBN 2017 seluas 5 hektar, APBNP seluas 75 hektar, kegiatan importer seluas 80 hektar, dan BPTP Jateng seluas 10 hektar.

Banyaknya petani yang menanam bawang putih menyebabkan harga benih bawang putih merangkak naik. Sukengrio mengisahkan bagaimana tahun sebelumnya membeli benih seharga beli Rp 40ribu – Rp 50ribu, dengan harga jual mencapai Rp 32.500/kilogram.

“Harga bibit bawang putih di tahun 2017 mencapai Rp 90ribu. Kalau nanti harga keringnya Rp 30ribu, saya tidak tahu apakah nanti petani bisa kembali modal atau tidak,” ungkapnya.

Agar harapan pemerintah untuk mencapai swasembada bawang putih tercapai, Sukengrio berharap paling tidak petani dalam kurun waktu dua tahun ke depan masih dilindungi harganya agar petani masih bisa menyimpan bibit bawang putih. Kalau petani sudah punya bibit sendiri, biaya operasional bisa berkurang. Ia juga berharap pemerintah bisa menata kira-kira harga yang sesuai agar petani untung dan konsumen tidak keberatan.

“Harapan kami, kerjasama dengan BPTP bisa terus menerus, agar petani semakin paham dengan teknologi BPTP. Kami merasa senang karena BPTP bisa memberikan petani pengetahuan yang lebih bagus lagi masalah penanaman bawang putih,” pungkasnya.(Wahono)

Iklan