Iklan

Iklan

,

Iklan

Ratusan Warga Desa Muncar Ikuti Tradisi Sadranan di Makam Eyang Martonegoro, Begini Suasanya?

Redaksi
Sabtu, 14 April 2018, 01:54 WIB Last Updated 2018-04-14T05:27:17Z
Temanggung, harian7.com - Tradisi sadranan yang dilakukan masyarakat Jawa setiap menjelang bulan suci Ramadan, mungkin kekhasannya tiada dua di dunia. Padahal, inti dari tradisi itu sebenarnya sangat bersahaja, yakni ziarah kubur terutama ke makam leluhur.

Sadranan yang dalam lafal lidah Jawa sering disebut "nyadran" adalah rangkaian ritus budaya yang mentradisi, berupa pembersihan makam leluhur, peziarahan tabur bunga dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Secara singkat makna harfiah sadranan adalah ziarah.

Sejak nenek moyang belum mengenal Islam, secara turun-temurun tradisi "nyadran" telah menjadi semacam bagian dari ritus kehidupan orang Jawa. Itu sebabnya, meskipun dalam skala lebih kecil di banding tradisi "bakdan" atau lebaran, namun pada musim "nyadran" atau sadranan di zaman modern sekarang ini pun masih tetap semarak. Banyak keluarga di lingkungan masyarakat Jawa, termasuk mereka yang merantau meluangkan waktu khusus untuk berziarah ke makam leluhur di bulan Ruwah atau Sya'ban.

Di pedesaan yang kekerabatan masyarakatnya masih relatif kuat, seperti halnya yang di lakukan di wilayah Kabupaten Temanggung, yang pada musim sadranan pada umumnya lebih semarak. Kompleks makam dengan nisan-nisan tertutup semak yang biasanya tampak senyap dan angker akan berubah bersih dan agak riuh serta diselenggarakan kenduri di makam leluhur.

Tradisi tersebut biasanya di laksanakan pada bulan Ruwah. Namun pelaksanaan tradisi 'nyadran' di Dusun Dusun Blawong Wetan dan Dusun Rejosari, Desa Muncar di laksanakan lebih awal yakni pada hari Jumat Pon 27 Rajab 1439 H atau 13 April 2018. Dalam acara ini turut melibatkan  seluruh warga desa, lelaki, perempuan, tua maupun muda.

Setiap keluarga masing - masing membawa sajian nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya ke Makam Pepunden Eyang Martonegoro atau yang akrab di sebut  Mbah Dollah. Dalam acara sakral tersebut nampak kebersamaan masyarakat Desa.

Menurut keterangan Mbah Mujiro selaku juru kunci makam saat di sambangi harian7.com mengatakan, area makam Eyang Martonegoro sudah di buka sejak Jumat (13/04/2018) dini hari sekira pukul 01.00 WIB.

"Area makam saya buka sejak dini hari karena untuk mengantisipasi membludaknya para peziarah yang datang dari berbagai daerah,"tuturnya.

Meskipun sudah dibuka sejak pukul 01.00 WIB dini hari nampak ratusan peziarah rela mengantri hingga berjam jam untuk berziarah masuk di area pemakaman.

" Para warga yang datang untuk berziarah terlebih dulu menuju ketempat pendaftaran untuk mengambil antrian lalu menunggu panggilan untuk gilirannya,"terang sang juru kunci.

Refan salah satu  peziarah yang ikut mengantri saat di konfirmasi harian7.com mengaku dirinya  sudah mengantri selama  dua jam lebih,  namun belum juga sampe giliran.
"Sudah dua jam lebih saya mengantri mas, namun belum di panggil,"terangnya.

Ia selalu datang ke makam ini untuk mengikuti serangkaian kegiatan  houl atau sadranan pepunden yang di adakan setiap satu tahun sekali yaitu jatuh pada bulan rojab (bulan jawa).
"Saya setiap tahun datang kesini untuk berziarah ke makam Eyang Martonegoro serta makam anak dan cucunya dan salah satu murid juga di makamkan jadi satu disini,"terang Refan.

Sementara  Agus salah satu keluarga makam mengatakan mengaku jika kedatanganya kemakam ini bermaksud untuk mendoakan dan mengingat jasa-jasanya Mbah Dollah.

"Saya datang kesini untuk mendoakanya serta mengenang jasa-jasa beliu.  Selain itu juga turut mengikuti  tradisi sadranan ini, untuk melestarikan budaya dan adat istiadat. Karena dalam ritual ini mempunyai banyak kearifan lokal, antara lain kegotongroyongan, kebersamaan, mencintai alam semesta dan kedamaian,"pungkasnya.(Wahono)

Editor : Muza

Iklan